Saturday, April 24, 2021

Murahnya mahar bang Udin



 




Bang Farhan adalah sepupuku. Ponakan abak. Sejak kecil aku sudah dijodohkan dengan Bang Farhan. Aku tidak bisa menolak tradisi adat. itulah takdirku sebagai wanita minang. Bang Farhan tamat SMA dia diterima di PTN di Bandung. Abakku membiayai kuliahnya. Karena ayah bang Farhan sudah meninggal. Abak sebagai paman yang harus bertanggung jawab terhadap kamakananya. Waktu aku kelas 1 Madrasah Aliyah Bang Farhan sudah ke Bandung. Jadi praktis hubunganku dengan Bang Farhan terkesan tidak dekat. Apalagi usia kami bertaut 4 tahun.


Di sekolah aku punya kakak kelas. Namanya Sabarudin. Aku panggil Bang Udin. Dia anak yang cerdas. Namun pendiam. Kharismanya membuat dia terpilih sebagai ketua OSIS. Bang Udin juga juara MTQ tingkat sekolan dan kecamatan. Dia juga pernah mewakili sekolah dalam lomba cerdas cermat khusus Al Quran dan hadith. Kalau aku dekat dengan bang Udin karena rumahnya bersebelahan dengan uni dari abakku. Aku sering ke rumah Maktuo ku. Aku juga sering belajar tarikh dari bang Udin. Dia pandai sekali bercerita tentang tarikh islam.  Aku juga belajar memahami dasar dasar tafsir Al Quran dari bang Udin.


Bang Farhan tamat kuliah aku sudah tamat Madrasah Aliyah. Dia kembali dan tinggal di kampung sebelum dapat kerjaan. Saat itu aku diminta Abak jangan lagi sering bertemu bang Udin. “ tak patut dilihat orang” Karena aku sudah dijodohkan dengan bank Farhan. Bagiku tidak ada masalah. Memang tidak ada hubungan istimewa dengan bang Udin. Tamat Madrasah ALiyah, bang Udin pergi ke kekabupaten. Dia bekerja di toko Babah Afin saudagar kaya di kabupaten. Akupun jarang bertemu dengan Bang Udin.  Apalagi dia pulang ke kampung sebulan sekali.


Satu saat aku datang ke rumah Maktuo, aku dapati Bang Farhan sedang bersama wanita di teras. Aku terkejut. Wanita itu aku kenal.  Habibah namanya. Lebih tua dariku 1 tahun. Kuliah di IKIP Padang. Kebetulan sedang liburan. Aku sempat tegur bang Farhan. Tapi bang Farhan diam saja. Seperti tidak peduli. Aku masuk ke dalam rumah. Maktuoku, sepertinya mendukung atau tidak berdaya terhadap sikap bang Farhan. Aku lebih baik pulang ke rumah. Namun di teras Habibah yang sedang bersama Bang Farhan menegurku. “ Upik, tak ada recana kuliah kau? 


“ Tergantung abak. Aku hanya patuh apa kata abak” Kataku.


“Oh rupanya kau berharap bang Farhan melamar kau ya?


“ Siapa yang berharap.? Aku tidak pernah berharap kepada manusia. Cukuplah kepada Allah aku  berharap.”


“Eh sombong sekali kau. “ Kata habibah menunjuk keningku “ Tak mungkin bang Farhan mau melamar kau. Soal biaya kuliah yang abak kau bayar, orang tuaku bisa ganti semua. Tinggal sebut berapa? lanjut habibah seraya mendorongku. Aku membalas. Tetapi bang Farhan malah ikut mendorongku. Aku terjatuh. Saat itulah Bang Udin datang. Dia mendirikanku. “ Bang, si upik ini adik abang. Mengapa tega sekali abang perlakukan dia begini? Kata bang udin.


Aku pulang diantar bang Udin. Selama di jalan aku menangis. Bang Udin menasehatiku. “ Upik boleh menangis. Itu manusiawi. Tetapi tak boleh meratap dan mengeluh. Sabar sajalah.” Kata Bang Udin.


“ Aku tak terima abakku dihina. Kalaupun abakku membantu uang kuliah Bang Farhan, itu karena dia melaksanakan tanggung jawab sebagai paman kepada kamanakan. Tidak pernah abak paksakan bang Farhan harus menikah denganku. Kalaupun  dia tidak suka, abak bisa maklum” kataku.


Setahun setelah itu, bang Farhan bekerja di Riau. Diapun menikah dengan habibah. Waktu pernikahan,Abak paling repot mengurusnya. Akupun ikut senang. Tapi bang Farhan takut sekali berbaik hati kepadaku. Sepertinya dia takut dengan istrinya. Aku tetap sendiri. Usiaku sudah 20 tahun. Suatu sore, abak mengajakku berbicara. 


“ Pik, tadi paman Si Udin datang ke paman kau. Dia inginkan kau menjadi istri dari ponakannya si Udin. Kalau kau tak suka. Abak bisa maklum. Cobalah sebutkan siapa pria yang kau suka. Abak akan lamarkan”

Aku hanya diam.


Tapi setelah itu aku pergi ke kabupaten menemui bang Udin. Aku terkejut. Bang Udin tidak lagi kerja sama babah Afin. Tetapi sudah dagang sendiri walau di kaki lima. “ Hebat abang. Sudah dagang sendiri.” Kataku. 


“ Ya Pik. Dimodalin Babah Afin. “ Kata bang Udin dengan merendah. Dia memang lahir dari keluarga miskin. Tapi taat beragama.


“ Ya Bang. Itu berkat abang sabar dan jujur. Induk semang sayang ke abang” kataku. Aku sebenarnya ingin bertanya soal lamaran keluarga bang Udin. Tetapi aku malu. Bang Udin memang sahabatku sedari kecil. Apa salahnya aku bertanya.  “ Bang, tadi abak tanya Upik soal kedatangan paman bang Udin. Abang tahu soal itu? Kataku dengan hati hati.


“Ya. Minggu lalu, memang abang bicara dengan Paman idrus. Abang cerita soal keinginan melamar Upik. Tapi kalau Upik tak suka, ya tak apa. Maafkan abang ya Pik. “ Kata Bang Udin. 


Jantungku berdetak kencang. Aku berlari menjauh meninggalkan bang Udin. Langsung naik bus dengan hati berbunga. Bang udin tidak segagah bang Farhan. Kulitnya hitam. Badanya kurus. Tapi hidunya mancung. Walau tidak sarjana tapi dia berani melamarku. Padahal kami tidak pernah pacaran.


***

“ Pik, uang abang hanya ada Rp. 1 juta. Itupun uang hadiah dari babah Afin. Dia tahu abang mau menikah. Belum cukup untuk melamar upik.” Kata Bang Udin.


“  Bang, ingat engga kata guru madrasah kita dulu. Semakin murah mahar wanita semakin terhormat wanita itu dihadapan Allah. Upik engga akan terhina dapat mahar murah.”


“ Ya udah.  Abang kasih seperangkat alat sholat dan sempak aja ya Pik. Maaf.” Kata Udin malu malu.


“ Upik engga akan maafkan kalau abang beralasan menunda melamar karena uang tidak cukup.  Biaya pesta pernikahan, semua abak yang tanggung. Kan begitu adat kita. Apalagi.? Kataku.


“Siap Pik ! abang tak perlu ragu lagi untuk melamar Upik” kata bang Udin.


Benarlah. Bulan syawal  bang Udin resmi melamarku. Kini sudah 10 tahun pernikahan kami. Aku merasa bahagia, bukan karena harta berlebih. Tetapi mendapatkan suami pekerja keras, rajin sholat dan rendah hati.  Murah hati kepada siapa saja. Sayang kepada kedua orang tuanya dan santun kepada mertuanya.


Belakangan aku dapat kabar. Bang Farhan masuk pengajian LDII. Dia menikah lagi dengan  teman sepengajian dengannya. Habibah menolak dipoligami. Mereka pun bercerai. Habibah akhirnya menikah dengan Sukri. Jadi istri pertama. Belakangan Sukri menikah lagi. Habibah memilih pasrah.


Thursday, April 22, 2021

Melodrama...








Tahun 2006. Setiap akhir pekan saya pasti ke Shenzhen untuk istirahat setelah berlelah selama 5 hari di Hong Kong. Setiap saya melewati gate stasiun kereta ada wanita yang mendekati saya. “Pak, anda ingin membeli gaun atau jam  atau apa” Katanya dalam bahasa inggris terbata bata. Saya suka dengan gaya perjuangannya. Saya mengangguk seraya tersenyum. Dia membawa saya ke suatu apartemen yang tidak jauh dari mall Louho. 


Dia menawarkan beberapa barang. Memang murah sekali. Saya tahu itu semua merek palsu. Saya tidak tawar barang dia. Saya percaya saja. Itu berlangsung tiga bulan. Setiap beli barang dari dia, barang itu tidak pernah saya gunakan. Saya hanya simpan di lemari pakaian. Wenny sempat tertawa saat melihat tumpukan barang di lemari saya. “Kamu sadar ditipu dan itu berkali kali. Lucunya kamu menikmatinya.” Kata Wenny.


Saya mengerutkan kening. Seraya menghembuskan asap rokok ke udara, saya tersenyum. “ Bagiku, kehidupan bukan melodrama. Yang melihat hidup ini dari sisi hitam putih. Engga begitu say” Kata saya. 


“ Hidup ini, kan soal  salah dan benar. Makanya ideologi diperkenalkan. Agama disiarkan. Kebudayaan mengajarkan” Kata Wenny.  Dia tidak setuju dengan sikap saya.


Saya mendekat ke arah Wenny. Duduk di hadapannya di sofa“ Kalau kamu bersikap melodrama, kamu tak akan henti menyalahkan orang lain. Merasa diri kamu lebih baik dari orang lain. Kan begitu kata kebudayaan? Kan begitu kata agama?. Kan  begitu kata ideologi dan Politik?. Ya kan?. Tapi dalam kenyataannya yang terjadi adalah tragis. Tidak ada yang  sempurna. Tidak ada.” Kata saya.


Wenny termenung.


“Kamu tahu. “ Kata saya lagi. “ Bahkan revolusi yang lahir katanya dari genre dan ucapan kaum moralism dan diutarakan tanpa ambiguitas. “ Saya berdiri dengan membusung dada ” Ya di sini kaum revolusioner yang mulia. “  Kata saya menepuk dada. “ Di sana kaum kontrarevolusioner yang keji. “ Kata saya menujnuk ke depan.  Wenny tersenyum lihat tingkah saya. Saya kembali duduk. 


“ Tiap revolusi " Sambung saya " menyangka, atau menyatakan diri, membawa sesuatu yang baru. Revolusi Perancis menyatakan tahun permulaan kekuasaan baru sebagai tahun nol. Revolusi Rusia mengubah nama-nama kota terkenal St. Petersburg jadi Leningrad, juga Revolusi Indonesia menolak nama Batavia dan menjadikannya Jakarta. Nyatanya walau revolusi mudah meledak bau amis darah dan mengubah segalanya, tapi tidak pernah mencapai hasil seperti pesan moralis yang idealis. 


Melodrama itu hanya ada dalam kisah di kerajaan utopia. Di teater. Tidak di dunia nyata.  Bahkan budayawan yang bicara tentang tragedi  akan dengan cepat jadi komedi atau bahkan farce. Para pendakwah melodrama yang terus mengklaim kemurnian niatnya, akan tampak menggelikan, atau semakin tak jelas antara agama dan politik.Terutama ketika para pendakwah hidup hedonis. “ Sambung saya.

“Tapi melodrama selalu ada dalam sebuah masyarakat. “ Sergah Wenny.


“ Melodrama memang mengasyikkan, dengan atau tanpa air mata. Saya suka. Tapi memandang kehidupan sebagai sebuah melodrama akan cenderung menampik kesadaran akan yang tragis, dan kita hanya akan jadi anak yang abai dan manja.” Kata saya tersenyum.


***

Suatu saat ketika keluar dari gate. Wanita itu tidak terlihat lagi. Saya sudah melupakan wanita itu. Saya pergi ke spa yang ada di Shenzhen. Saya bertemu lagi dengan wanita itu. Dia jadi petugas terapis reflexy. Keliatan dia malu memijit kaki saya. Setelah selesai di spa jam 8 malam. Di lobi saya bertemu dengan wanita itu. Dia sengaja menanti saya. “ Bolehkah saya bicara? Katanya.


“ Ada apa ? tanya saya. Dia tampak bingung. “ Gimana kalau kamu temanin saya makan malam. Saya sendirian. “kata saya. Dia terkejut seakan tidak percaya dengan tawaran saya itu. “ Benar ? Katanya dengan wajah merona.


“Ya.” Kata saya tersenyum ramah. Diapun setuju. Saat masuk restoran, dia terkesan sungkan. “ Ini terlalu mewah bagi saya. Apakah kamu sedang merayuku.” Katanya.


“ Tidak. Hayolah masuk. Kata saya. Dia masuk dengan ragu.


“ Saya mau minta maaf. “ katanya saat menanti hidangan datang  di meja makan.


“Maaf apa? saya mengerutkan kening. Dia tidak menjawab. Wajahnya menatap kosong... 

" Apapun itu, Saya sudah maafkan sebelum kamu minta maaf. Kamu tidak usah berlebihan. Santai saja.” kata saya menenangkan hatinya.


Usai makan malam, saya ajak dia mampir ke Apartemen saya. Awalnya dia ragu. Tapi akhirnya setuju. 


Sampai di apartemen saya ajak dia masuk ke kamar tidur. Dia menolak halus. “ Saya belum siap. Maafkan saya.” Katanya. 


" Maaf. Bukan itu maksud saya. Maaf " Kata saya yakinkan dia bahwa saya tidak sedang merayunya untuk ditiduri. Saya buka lemari di kamar. Perlihatkan ke dia. Dia masuk ke dalam kamar dan melihat banyak bungkusan. “ Inilah barang yang saya beli dari kamu selama ini. Tidak pernah saya pakai. Itu hanya saya simpan” Kata saya tersenyum. “ Nah sekarang mari kita keluar kamar “ Lanjut saya.


“ Jadi kamu tahu aku berbohong?  tanyanya dengan terkejut. " Ya, saya telah berbohong kepada kamu. Berkali kali saya jual barang Itu semua bohong. Baik harga maupun merek.” Sambungnya dengan air mata berlinang


“Ya. Saya tahu.”


Tapi karena saya lihat kamu tidak merasa dibohongi dan saya dapat dengan mudah menjual. Saya menganggap saya tidak bernilai di hadapan kamu. Sejak itu saya memutuskan untuk berhenti dagang sebagai broker barang palsu. Hidup memang tidak mudah. Tetapi selalu ada pilihan. Maafkan saya.” Katanya berlinang airmata  " Tetapi mengapa kamu diam saja, menerima saja saya tipu? tanyanya.


“Saya tidak membeli barang dagangan kamu, tetapi membeli  rasa hormat kamu.”


" Rasa hormat ? Dia mengerutkan kening. Sepertinya dia tidak mengerti maksud saya. 


" Kamu tidak menggoda saya walau kamu cantik. Karenanya saya tidak merasa dipaksa untuk membeli. Kamu hanya mengajak saya ke apartemen yang menyediakan baragam barang bermerek yang palsu. 


Oh…” Dia menangis sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.


“ Dan terbukti karena rasa hormat itulah kamu merasa tidak nyaman dan pilihan menjadi terapis pijit lebih terhormat. Saya tidak salah dengan keyakinan saya. “ kata saya.

 

“Mengapa kamu sangat yakin? Tanyanya ragu.


“Saya suka bertaruh dengan keyakinan saya. Hidup kan adalah pertaruhan tanpa jeda. Biasa saja. Everything happens for a reason.  Apa sebenarnya alasan kamu tipu saya? Itu hanya kamu yang tahu.  Saya tidak melihat hidup ini sebagai sebuah melodrama. Sehingga saya tak berhak mengadili kamu. Itu udah nature saya” kata saya. 


Dia lama terpana. 


“ Bolehkah aku memelukmu ? Katanya. Saya rentangkan kedua tangan saya. Dia memelukku. “Dari kecil saya hidup sangat miskin. Ibu saya pergi dari rumah sejak saya berusia balita. Saya dibesarkan oleh kakek dan nenek saya yang juga miskin. Papa entah dimana kini?. Ini kali pertama saya merasa dimanusiakan. “ Katanya dengan suara terisak. 


Tak berapa lama Wenny datang ke apartemen. Saya kenalkan dia kepada Wenny. Sebulan kemudian dia sudah bekerja di jaringan internasional Hotel di Luar kota Shenzhen dibawah portfolio Yuan holding yang dikelola Wenny. Setelah 10 tahun bekerja pada Yuan Holding dan mengikuti proses training, Wenny percayakan dia sebagai Head of gold trading di divisi perdagangan emas. Dia cerdas dan cepat sekali belajar. 


Saturday, April 17, 2021

Menghapus airmatanya

 






Inikah takdir ? terlahir sebagai yatim dan kemudian menjadi piatu. Dina , tak pernah menyesali nasipnya. Rasa sukur selalu menghias wajahnya. Karena kasih sayang orang tua angkatnya yang telah membesarkannya hingga dia dapat tumbuh dewasa seperti sekarang ini. Mereka bukanlah orang kaya namun hati mereka sangat kaya. Dina diperlakukan layaknya anak kandung. Inilah yang membuat Dina tidak berhenti bersyukur akan kehidupan yang diberikan tuhan kepadanya. Dina tidak bisa menolak ketika di jodohkan dengan putra juragan kaya. Belakangan setelah mertuanya meninggal ,harta warisan habis diperebutkan. Suami dina jatuh miskin. 

***

Hari telah mulai gelap. Dina melangkahkan kakinya menyusuri lorong kampong ke arah rumah kontrakannya. Tentu tadi siang dia baru menerima gaji mingguan hingga ada uang sedikit lebih untuk membeli makanan kesukaan suaminya.


“ Mas , Ini aku belikan pecel lele kesukaan Mas. “ kata Dina kepada suaminya yang sedang tiduran di korsi butut. Suaminya menatap sinis kearahnya.


“ Aku tidak mau makan! Kamu saja yang makan. “ Teriak suaminya dengan tatapan sinis. Dina terkejut. Belum usai keterkejutannya, suaminya melempar makanan itu ke arah mukanya. Bungkusan nasi itu tumpah bertaburan di lantai dan sebagian sambalnya mengenai tubuhnya.


” Ada apa , Mas. ?


” Ah , jangan tanya. Mana gaji mingguan kamu. ” Bentak suaminya. Tanpa memperdulikan Dina yang masih terkejut dengan tumpahan Nasi dilantai, suaminya dengan cepat merampas dompet di tangan Dina. Namun , Dina berusaha menahan dompetnya dari hentakan tangan suaminya. ” Tolong Mas, Jangan ambil uang ini. Kita butuh makan. Aku sudah tidak bisa lagi berhutang di warung.” Kata Dina dengan memelas.


Wajahnya yang memelas itu bukannya membuat suaminya luluh malah yang datang ” Pang...” tamparan tepat diwajahnya. Terasa asin mulutnya. Dia tahu bahwa itu darah. Tangan suaminya dengan keras memelintir tangannya untuk merampas dompet. Dengan mudah dompet itu berpindah tangan. Suaminya mendorongnya hingga dia jatuh telentang di lantai. Dia lihat suaminya berusaha menarik tubuhnya kembali untuk memukulnya. Dina menutup wajahnya sambil berkata terbata bata ” Mas. Tolong jangan sakiti aku. Sudah, sudah, Ambil lah uang itu. ”


” Makanya jangan sok jago kamu. Berani melawan ya. ” Kembali suaminya bersuara lantang. Dina hanya terdiam sambil terduduk memagut kedua lututnya di pojok ruangan. Dia tak berani menatap wajah suaminya. Dina merasa takut dan sakit. Walau ini acap dilakukan oleh suaminya namun rasa sakit dan takut selalu hadir ketika suaminya marah. Jantungnya berdetak kencang.


Apalagi ketika suaminya kembali menghampirinya dengan menarik rambutnya. Dina terdongak keatas. Nampak wajah suaminya sangat dekat dengan wajahnya ” Aku hanya ingin kamu mau turut apa kataku. Kita akan hidup lebih senang kalau kamu mau nurut. Bukan hanya uang mingguan yang tak lebih seharga sebotol minuman keras untuk ku. Paham“ Dina hanya diam. 


Pedih rasanya dipukul dan terlalu pedih bila sudah sampai pada kehendak suaminya agar dia menjual dirinya untuk uang. Dina ikhlas bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan makan tapi tak pernah siap untuk menjual dirinya.


“ Mas…aku cinta Mas…” Dina memelas dan berharap suaminya kembali mengerti perasaannya.


“ CInta..cinta…aku tidak mengerti apa itu cinta. Aku hanya ngerti bagaimana hidup kita senang tanpa kerja keras. …” jawab suaminya sambil melotot. Ini membuat Dina kembali terpukul. Begitukah harga cintanya dihadapan suaminya. Pria yang dulu begitu diharapnya untuk melindunginya. Kehidupan seperti ini telah berlangsung bertahun tahun. Bentak, marah dan akhirnya memukul adalah keseharian yang dia terima dari suaminya.


Seperti biasa setelah puas marah , suaminya pergi keluar dengan uang mingguan dari hasil kerja keras Dina. Tentu suaminya baru akan pulang setelah dini hari dalam keadaan mabuk. Dina hanya dapat memandang ulah suaminya dan berharap agar semua ini dapat berakhir. Inilah drama hidupnya. 


Inikah takdir ? Subuh dia ada Polisi datang ke rumahnya bersama suaminya. Polisi menggeledah isi kamar. Mereka menemukan narkoba. Polisi menangkap Suaminya dan Dina. Berkali kali Dina menolak pergi karena dia tidak tahu apa apa. Tetapi polisi tidak peduli.


***

Dua tahun dalam penjara. Dina dibebaskan. Hakim bisa meringankan hukuman Dina berkat bantuan relawan perempuan. Mereka memberikan advokasi kepada Dina. Sementara suaminya kena hukuman 8 tahun penjara. 


Keluar dari Penjara, Dina tidak tahu kemana harus melangkah. Rumah tidak ada. Dia tidak ingin membebani orang tua angkatnya. Di perempatan jalan Tomang. Dia duduk termenung. Salah satu pedagang susu kacang. Menyuruh dia menjajakan susu kacang itu ke kendaraan yang sedang berhenti di lampu merah. Itu dia lalui berhari hari untuk sekedar makan. Sementara dia tidur di pelataran masjid Istiqlal.


Satu waktu dia bertemu dengan penumpang kendaraan yang membeli susu kacangnya. Setelah ngobrol sebentar. Penumpang itu memberinya uang Rp. 1 juta. “ Kamu datang ke alamat yang tertera di balik kartu nama saya. Datanglah ke sana. Mungkin ada kerjaan untuk kamu. Ke esokannya Dina datang ke alamat tersebut. Ternyata pabrik Footware. Satpam membawanya ketemu dengan GM pabrik.


“ Tadi saya dapat telp dari ibu dirut di kantor pusat. Kamu kelola koperasi karyawan khusus kantin. Kamu tamat SMK kan.”


“ Ya pak. SMK Jasaboga. Tetapi ijazah udah engga ada. “ kata Dina.


“ Ya udah. Kamu isi formulir ini. Terus, temui pak Hadi di ruang HRD. Biar kamu dapat penjelasan kerjaan kamu.”


“ Ya pak. “


“Gaji kamu Rp. 6 juta sebulan. Uang transpor dan uang makan dapat. Udah cepatan pergi ke HRD.” Kata GM itu.


***

Dua tahun kemudian, saya ke pabrik karena mau lihat penambahan mesin baru. Saya sempatkan makan di kantin bersama Yuni. Saya bertemu dengan Dina.  Dia terkejut ketika meliat saya dan segera memeluk saya . “ terimakasih bapak. Dua tahun saya harus menanti mengucapkan terimakasih. Sekarang kesampaian juga. Terimakasih bapak” . Kata Dina dengan terbata bata menangis. Dina cerita tentang hidupnya sampai akhirnya bertemu saya. Yuni berlinang air mata mendengar cerita Dina.


“ Apa dasar uda percaya dan memberikan kesempatan kerja dengan Dina” tanya Yuni.


“ Pertama cara dia menjajakan susu kacang. Tanpa maksa. Cukup dengan senyuman. Dan pada waktu itu jam 10 malam. Kedua, saya kasih uang tanpa membeli. Dia menolak. Tetapi ketika saya tawarin peluang kerja. Dan saya beri uang agar dia beli baju yang bagus dan dandan yang rapi. Dia  terima uang itu dengan menangis“


“ oh itu sebabnya Uda suruh Yuni carikan pekerjaan yang cocok untuk dia”


“ Ya.” 


“ Kalau Dina terima uang tanpa uda membeli mungkin Dina engga pernah kenal Yuni ya. “ kata Yuni melirik ke Dina. 


Hikmah cerita : Ketika anda memberikan kesempatan kepada orang lain untuk bekerja, bukan tidak mungkin anda ditugaskan Tuhan untuk menghapus airmatanya yang didera oleh kezoliman manusia.


Friday, April 16, 2021

Jalan terjal menuju taubah.

 




Pria itu datang ke KTV tidak seperti tamu lainnya. Dia tidak mau menyentuhku  walau aku sudah di booking dan bisa diperlakukan sesukannya. Usai waktu KTV, dia memberiku tip lebih besar dari tamu lainnya. Apakah dia menyukaiku dan ingin berhubungan lebih dari sekedar hubungan client dan pramuria KTV. Entahlah. Pernah satu saat, aku tidak masuk kerja.  Menurut mami son, dia tidak memilih wanita lain. Apakah dia sedang menggodaku? Apakah dia terpesona denganku. ? 


Ah tidak mungkin. Aku bukan pilihan tepat. Banyak yang lebih cantik dariku. Kalau dia mau istri simpanan, tentulah dia pilih yang lebih cantik. Soal service? Aku tidak pernah ada kesempatan service dia. Sudahlah.  Biarkan dia dengan sikapnya. Mungkin dengan duduk di ruang KTV bersama temanya, dan memberi tip kepada pramuria adalah kesenangan tersendiri baginya. Apa peduliku.


Suatu saat dia datang ke rumah sakit. Ternyata dia tahu aku sakit dari Mamin Son. Dia pindahkan aku kamar VIP. Dia hanya diam menatapku. Tak ada kata penghibur.  Tapi dia tanggung semua biaya. Sekeluar dari rumah sakit. Aku merasa ada cahaya dalam relung sanubariku.  Aku harus berubah. Aku harus mencari pekerjaan lain yang lebih terhormat.  Tapi aku tidak ada uang untuk bayar hutangku kepada mamison. Ketika dia tahu rencanaku. Dia membayar hutangku.


 “ Beranilah untuk berubah. Dan tetap sabar walau cobaan berat.” Katanya singkat ketika memberi tahu bahwa hutangku sudah dibayarnya. Setelah itu aku tidak pernah lagi bertemu dengannya. Walau aku tahu Hapenya, aku tidak berani telp dia. Dia hanya pria yang misterius dan memberikan solusi too good to be true kepadaku. Aku tidak boleh baper. Walau mungkin aku sudah jatuh cinta dengannya.


***


Empat tahun setelah keluar dari dunia malam. Aku memang berubah dalam segala hal. Walau pekerjaanku sebagai administrasi gudang coldstorage  namun lebih dari cukup untuk hidupku sendiri. Aku sudah bisa sewa rumah sendiri. Aku juga menaggung seorang ponakanku yang yatim piatu. Aku tidak butuh apa apa lagi. Kecuali bersukur kepada Tuhan. 


“ Murni kamu ada dimana? SMS masuk. Tertera namanya Doni. Di hapeku aku sebut namanya “Mas-ku”.

“ Di rumah mas..” 

“ Boleh engga ke rumah akmu?

“ Boleh mas. Datang aja. “ Kataku seraya memberi alamat lengkap.


Belum jam 10 malam mas Doni sudah sampai. Dia tampak kumuh. Tidak seperti biasa.

“ AKu bangkrut, Mur. “ Katannya berwajah muram.

“ Sabar ya mas.”

“ istriku pergi ke Singapore ikut anaknya setelah rumahku disita bank.  “ katanya tertunduk lesu. “ Aku tidak punya apa apa lagi. Hanya baju yang melekat di badan” Lanjutnya. 

“ Kalau Mas engga keberatan. Mas bisa tinggal di rumahku sementara. “ Kataku mengusulkan begitu saja. Dia terkejut menatapku. Seperti tidak percaya yang baru didengarnya. 

“ Terimakasih Mur. Moga engga lama saya merepotkan kamu. Saya ad peluang bisnis yang sedang saya urus. Moga cepat berhasil dan aku bisa keluar dari rumah’

“ Amin. Semoga dimudahkan Tuhan rencana Mas.” 


Setelah itu Mas Doni tinggal di rumahku. Setiap hari dia keluar rumah. Kami hanya bertemu malam hari. Itupun dia tidak merepotkanku. Dia punya kunci sendiri. Tidur di dekat dapur. Pagi pagi aku membuat sarapan untuk dia sebelum pergi ke kantor. Selalu diatas meja makan aku letakan uang Rp. 100 ribu untuk ongkos dia. Aku pergi kerja dia belum bangun. 


Tiga bulan Mas Doni di rumahku. Dia pamit ke kalimantan membawa relasi bisnisnya dari luar negeri untuk meninjau tambang batu bara. Setelah itu Mas Doni mengabarkan bahwa dia sementara menetap di Kalimantan. Tak lupa berterimakasih. Setelah itu itu kami sudah jarang komunikasi. Aku berdoa semoga dia baik baik saja.


Setahun kemudian, mas Doni datang menemuiku lagi. Sekarang dia sudah berbeda dari sebelumnya. Penampilannya sama seperti awal aku bertemu dengannya. Dia sudah kaya lagi. Dia membelikan rumah untukku. Saat itu aku benar benar tersanjung. Namun saat itu juga Mas Doni bilang bahwa dia sudah kembali ke istrinya. Aku senang saja. 


Suatu hari di hari minggu, aku kedatangan wanita dan pria ke rumahku. Aku persilahkan mereka masuk
“ Kamu Murni ? Kata pria tamu.

“ Ya benar. Ada apa ? 

“ Kamu perusak rumah tangga orang ya. “ Suara pria muda itu menggelegar. Aku terkejut. Jantungku berdetak kencang. Aku yakin anak muda ini putra dari Mas Doni dan perempuan itu istrinya.

“ Maaf, apa maksud anda?

“ Papa saya selingkuh dengan kamu. Dan rumah mewah ini pasti pemberiannya! Kata anak muda itu dengan emosi.

“ Dasar lonte kamu! Teriak wanita itu. 

Aku terdiam. Entah mengapa aku menangis. “ Maafkan saya. Rumah ini memang pemberian dia tanpa pernah saya minta. Kalau kalian mau ambil, ambillah. Saya keluar sekarang”  kataku.

“ Minggat  kamu.! Teriak anak muda itu dengan garang.
“ Ya udah keluar kamu! Kata wanita itu.

Tanpa banyak bertanya lagi, aku langsung masuk kamar dan  keluar membawa tas dengan isi pakaian. Anak asuhku kubawa pergi. Sejak itu juga hape mas Doni aku block. Tempat tinggalku  yang baru aku rahasiakan kepada teman teman kantor.


Aku tidak menyalahkan keluarga Mas Doni. Anaknya tentu berhak atas ayahnya. Tentu mereka inginkan kedua orang tuanya rukun kembali. Istri Mas Doni tidak salah. Dia berhak lindungi suaminya.   Setidaknya dengan kebangkutan Mas Doni dan akhirnya bisa bangkit kembali, keluarganya bisa mendapatkan hikmah untuk saling memperbaiki diri dan merubah menjadi lebih baik. 


Aku juga tidak salah.  Kalau aku membantu mas Doni, itulah caraku berterimakasih kepada Mas Doni. Apakah aku pantas dapatkan keadilan atas kesalahan yang tak kuperbuat terhadap Mas Doni?  Itu tidak penting bagiku. 


Allah memang Maha Pengampun atas dosa dosa manusia. Namun ampunan itu tidak didapat dengan hanya lewat kata dan penyesalan. Tetapi harus dibuktikan dengan sikap konsiten di jalan yang benar.  Sama halnya dengan keimanan. Tidak ada keimanan tampa cobaan. Pada akhirnya rasa sukur dan sabar itulah menjadi pendamai jiwa, walau sakit tak tertanggungkan namun aku tetap harus berprasangka baik kepada Tuhan.


Menjelang usia 40 tahun aku bertemu dengan duda yang berkarir di Bank. Dia bisa menerima masalaluku. Mendukung karirku. Kini, Karirku diperusahaan cold storage semakin bagus. Aku sudah jadi pimpinan unit business. Aku mengendalikan empat processing fish di Indonesia, Thailand, China, Korea. Pimpinanku yang juga wanita Jomblo adalah inspirasiku untuk memahami itu semua.  Kadang satu pintu tertutup, Tuhan bukakan pintu lain. Selalu indah akhirnya.

Ingin jadi sahabatmu saja..

  “ Proses akuisisi unit bisnis logistic punya SIDC oleh Yuan sudah rampung, termasuk Finacial closing. Kini saatnya kita lakukan pergantian...