Aku tahu kamu akan datang, cepat atau lambat,” kata Mari. “kita pasti bertemu” Kata Mari tersenyum. Itu pertemuanku di Bar pada suatu senja di Macao di Bar.
“Mari, bagaimana kamu berada di sini?” tanyaku takjub. Dia mengenakan blouse putih lengan pendek, memperlihatkan putih kulit lengannya. Celana jins membalut pinggangnya. Kuku-kuku jarinya ber-cutex merah. Mari sedang membereskan meja bar, menaruh gelas-gelas yang diangkatnya dari tempat pencucian di bibir pantry dalam posisi terbalik.
“How’s life…” tanyanya.
Aku terdiam tak tahu harus menjawab apa.
Kembali Mari tersenyum. Ia menuju alat pemutar lagu. Kuku-kuku jarinya yang juga ber-cutex merah menyala memencet tombol alat pemutar yang kelihatan sangat kuno modelnya.
“Adanya ini…” katanya saat melihatku memerhatikan alat pemutar lagu tadi. “Aku tahu kamu menyukai ini…” lanjutnya. Mengalun lagu lembut berjudul You alway on my mind. “Problemnya pasti irama ya, iya kan?” ucap Mari seperti hendak menebak, mengapa aku tak menjawab pertanyaannya. “Kamu menyebut, semua adalah soal irama. Irama kamu sebenarnya di sini.”
“Bersamamu,” tukasku.
“Kamu masih suka merayu.”
“Aku sungguh-sungguh.”
“Aku tahu. Kamu jujur mengungkapkan apa yang kamu rasakan, meski aku juga tahu, kamu terlalu naif.”
Kali ini aku tersenyum. Mari selalu benar.
***
Kedekatanku dengan Mari pada pertengahan tahun 80an. Aku ingat percakapan di masa awal perkenalan. Aku hanyalah pengusaha pemula yang sedang merintis jadi elang perkasa.
“ Pengusaha itu second class. Terlalu tinggi angan angan. Siapa yang bisa kaya di era Soeharto, hanya para budaknya. Pejabat lebih terhormat karena dia bersama Seoharto jadi penguasa diantara para budak kaum pengusaha.” Katanya bersatire ketika mendengar tawaranku bermitra dengannya dalam bisnis sebagai rekanan pemerintah.
Walau aku bisa mengajak Mari ke Baritoroom Hotel Indonesia makan malam. Mendengarkan dia melantunkan lagu keroncong “ Bandung selatan diwaktu malam.” atau lagu “ Aryati” Walau Mari sering bantu aku bertemu dengan pejabat untuk mengatur tender, tetapi dia tidak pernah memberikan kesempatanku menciumnya. Sebagai istri simpanan jenderal, dia setia.
Lalu, suatu saat aku ingat. Mari datang ke Barito Room HI. Dia datang sendirian. Aku bersegera mendekatinya mengajaknya gabung di tableku. Wajahnya tidak seperti sebelumnya. Acuh dan sangat yakin dengan dirinya. Aku mengantarnya pulang. Tetapi dia menolak. Setelah aku paksa, diapun menyerah. “Aku sudah tidak lagi tinggal di Menteng. “ Katanya mengalihkan pandangan ketempat lain. Kutatap dari samping. Mari nampak sangat bersedih. Tetapi itu cepat berlalu sebelum aku bicara Mari sudah membuka pintu kendaraan. “ Aku berhenti di sini saja. Di lampu merah.” Dia melambaikan tangannya dengan sedikit senyum.
***
Tahun 2004 aku pernah bertemu dengan Mari di Singapore. Dia jadi pramuria tempat hiburan di cafe river side. Saat itu dia tawarkan tubuhnya untuk kubeli.” Bukankah kamu selalu mengingkan menciumku. Kini kamu bebas lakukan apa saja. Booking lah aku. “ Katanya meracau dalam keadaan mabuk. Aku sedih melihat kehidupan Meri. Dia sahabatku. Usianya saat itu 35 tahun. Akhirnya terdampar jadi pelacur.
Aku bayar booking Mari. Kuajak ke hotel satu kamar dengan Yuni.
“ Kamu tidur dengan orang saya. Besok kita bicara.” Kataku.
Dia gusar dan menendang nendangku. Meracau. “ Jangan kamu kira setelah membayarku, kamu bebas mencampakanku. Dari awal aku mencintai mu, B.. “ katanya dengan airmata berlinang.
“ Kamu kan kenal aku, Mar. Aku tidak pernah membeli untuk sex. Kamu sahabatku. Aku inginkan kamu berubah.” Setelah itu Mari pergi dan membenciku. Kami disconnect.
***
“Siapa dia?” tanya Mari melirik wanita di sebelahku.
“ Dia sekretarisku. “
“ Sepertinya orang China?
" Bukan, tapi Korea. "
" Apa dia harus selalu ada bersama kamu, termasuk di Bar ini ?
“ Aku…”aku tergagap. Mari tahu kelemahanku. “ Kamu tahu aku sangat tergantung dengan staf kalau sedang di luar negeri. Aku kan disleksia. Banyak lupa nama tempat. “
“ Ya tahu. Kadang kamu seperti Balita. Semua hal tergantung wanita di samping kamu. Untung istri kamu wanita yang tabah. Tabah bersuamikan disleksia “
“ Sebentar lagi Bar ini akan ramai. Kamu datang terlalu awal” kata Mari.
“ Aku hanya ingin makan Menu Indonesia. Sekretarisku ajak aku kemari. Katanya disini ada menu Indonesia.”
“ Gado gado ya.” Katanya. Aku menganguk. Mari menemani aku duduk. Sekretarisku punya alasan kuat untuk membiarkan aku berdua saja. Dia pergi keluar untuk keperluan tertentu.
“ Usiaku sudah hampir 50. Aku tidak bisa lagi hidup terperangkap dengan kercerdasan seperti masa mudaku dulu. Kini inilah aku. Jadi TKW bekerja di Bar.”
“ Udah berapa lama?
“ Udah hampir 10 tahun. “
“ Anak kamu ?
“ Aku tidak pernah menikah dalam arti sesungguhanya. “
“ Sesungguhnya ?
“ Ya punya keluarga. “
Mari terdiam seperti menanti aku merespon. “ Tolong ceritakan tentang kamu. Aku ingin sekali tahu. Bagaimana dengan Yuni?” katanya.
“ Oh Yuni. Ada..ada di jakarta. “
“ Gimana usahanya ?
“ Masih tetap seperti dulu. Tetapi sekarang tentu berkembang lebih besar. Dia udah punya industri tableware, Agro industri, dan perhotelan.”
“ Aku tahu.” kata Mari menatap kosong ke arahku. “ Kini baru aku sadari. Bahwa aku salah menyikapi hidup. Yuni lebih cerdas dari aku. Terutama cerdas memilih sahabat dan tahu berbagi kepercayaan. “
Aku hanya diam. Aku sedih melihat kehidupan Mari. . “ Andaikan dulu aku bisa sedikit menghargai kamu dan kita bisa bersahabat dengan terbuka. Mungkin aku bernasip sama dengan Yuni sekarang. Tetapi aku terlalu yakin dengan kehidupan too good to be true. Karena aku yakin mudah menaklukan pria dengan kecantikanku. Di saat usia menua, semua hilang begitu saja…” kata Mari.
Dia berdiri dari tempat duduk dan melangkah ke arah table Bar. Karena ada tamu yang datang. Aku yakin Mari akan baik baik saja. Dia bisa menerima kenyataan hidupnya dan tetap tersenyum.
Hikmah cerita. Kesenangan dan kemudahan itu racun dalam hidup kamu. Janganlah mudah terlena. Jangan pula bersedih hati ketika bersikap benar, kesulitan mendera. Karena itu sebagai tanda kamu berproses untuk jadi hebat