Friday, May 01, 2020

Karena aku mencintaimu...






Kalau kamu tanya apakah pernikahan itu harus dengan Cinta?  bagiku itu belum tentu. Aku tidak mengerti apa itu cinta. Setidaknya itu yang kupahami terhadap Ayumi. Pertemuan kami tidak direncanakan. Waktu itu tahun 1983 dia sebagai Customer Manager dan aku sebagai Salesman di perusahaan Jepang yang meng-ageni bahan kimia. Usia kami bertaut 4 tahun. Ketika itu usiaku 20 tahun, dan dia 24 tahun. Bahasa indonesianya bagus. Kebetulan dia sedang menyelesaikan studi sastra Indonesia di Universitas. 

Awalnya kedekatan antara kami, karena dia sering ke tempat kos ku untuk membahas sastra. Lambat laun entah kenapa aku tidak sungkan lagi dengan dia walau dia atasanku di kantor. Suatu waktu yang tidak direncanakan terjadi. Empat bulan setelah itu dia hamil. Aku memutuskan untuk menikahinya. Setahun setelah dia melahirkan anak perempuan, dia kembali ke Jepang membawa bayiku. Kepergiannya sangat mendadak. Ketika itu aku sedang di luar kota untuk urusan bisnis. Sekembali dari luar kota, kudapati hanya surat ucapan maaf, dan dia beralasan kepergiannya demi cintanya padaku.

Ketika itu aku dalam keadaan merintis hidup untuk tegak berdiri. Aku tidak punya cara untuk mencarinya. Apalagi ke Tokyo. Aku hanya bisa menyesali. Empat tahun kemudian, setelah ekonomiku mapan, sebagai pengusaha. Selama 4 tahun itu aku tidak pernah berkirim surat. Bahkan aku sudah menikah lagi. Apakah aku melupakannya ? tentu tidak. Kebetulan ketika aku ada urusan bisnis ke Tokyo, aku sempatkan untuk mencarinya.  Tidak sulit menemukan alamatnya. Karena data dari kantor tempat dia kerja, cukup jelas. Dia tamak terkejut dengan kedatanganku di rumah orang tuannya. Kulihat ada anak Balita sedang bermain di teras rumah.  Dia membungkukan tumbuhnya, sebagai tanda hormat. 

Ada keinginanku untuk marah ketika itu.Namun melihat wajahnya yang tampak pasrah, aku jadi kasihan.  Aku mendekati Balita itu. Menggedongnya. Tak ada nampak Balita itu merasa asing  kepadaku. Dia tenang dalam pelukanku. 

“ Kamu ganti namanya?

“ Tidak. Tetap Emi.”

Kami terdiam lama. Seperti kehilangan kata kata.

“ Aku..” Katanya memecah keheningan. “ Aku sudah urus di kedutaan tentang Warga negara Emi, dia tetap WNI. Aku bawa akta kelahariannya dari Jakarta. Sekali lagi maafkan aku “

“ Kamu bekerja di mana?

“ Aku tidak bekerja tetap. Emi butuh perhatianku. Tetapi aku bekerja dari rumah, jadi penulis kolom di Majalah.” Katanya dengan tetap menundukan wajah di hadapanku.

“ Mulai sekarang aku akan menanggung biaya hidup Emi. “ Kataku.  Dia terdiam. “ Kami akan baik baik saja. Engga usah merepotkan kamu.” Katanya.

“ Merepotkan? kamu bicara apa ? Kamu masuk dalam hidup saya, dan kini kamu bicara seperti itu, seperti tidak bersalah dengan keadaan Emi? Kataku dengan nada tinggi. Dia tertunduk. “ maafkan aku, maafkan aku. Bukan itu maksudku..” Katanya terputus.

“ Jadi apa ? Kamu pikir segampang itu urusannya. Pergi dari hidupku dan membawa anakku.”

“ Maafkan ku.” Dia menangis. 

“ Mana rekening bank kamu.? 

Dia terdiam. Akhirnya masuk ke dalam kamar, memberikan buku tabungan. “ Ini nomor rekeningku. Jangan marahi aku, Angga. Maafkan aku.” katanya terisak.

“ Ok. aku catat nomor rekening kamu. Dan pastikan setiap tiga bulan kamu buat laporan perkembangan Emi. Paham?  Dia mengangguk seraya membungkukan tubuhnya.

“ Dan ingat, setelah Emi tamat SMU kembalikan kepadaku. Setuju?

Dia mengangguk tanpa berani menatapku. 

Sebelum kembali ke Jakarta, aku menitipkan uang USD 25,000 ke Ayumi. “ Pakai uang ini untuk membayar selama 4 tahun kamu mengurus Emi.” Kataku. Dia sempat ingin menolak, Tetapi Mi tidak pernah punya keberanian melawanku.

Dia hanya menunduk, dan melirik ketika aku mencium Emi berkali kali. “ Boleh aku photo” katanya menunjuk photo polaraid di dalam tasnya. Aku mengangguk. Dia tersenyum haru ketika usai mengambil photoku bersama Emi. 

Aku menyerahkan kembali Emi ke Ayumi” Jaga dia baik baik. Kamu juga jaga kesehatan “ Kataku.

Dia mengangguk. 

“ Oh ya, kalau kamu menikah, tolong kabari aku.”

“ Angga, aku tidak akan meikah lagi. Never. Emi adalah cintaku, dan itu sudah cukup bagiku. Engga perlu apa apa lagi. Sekali lagi, maafkan aku.” 

***

“ Angga, Emi sudah tamat SMU. Aku harus kirim ke mana Emi” Kata Ayumi via Yahoo messenger tahun 2002. Aku sempat terdiam. Bingung harus bagaimana. Ini soal masa depan Emi. Di mana dia akan tinggal kalau bersamaku. Tetapi bagaimanapun dia adalah putriku, yang setiap awal tahun aku kirimi uang untuk biaya hidup dan sekolahnya selama setahun. Jadi kalau dihitung dalam rentang 15 tahun, ada 15 kali aku kirimi uang. Walau aku sering ke Tokyo tapi aku tidak pernah sempatkan untuk menjenguknya. Tetapi setiap tiga bulan, Mi selalu kirim surat perkembangan putriku.

“ Mi, apakah dia mengenalku? terakhir aku bertemunya waktu dia masih balita. “ Kataku bingung.

“ Aku hanya mengikuti keinginanmu dulu agar Emi kembali kepadamu setelah tamat SMU. Apakah rencannya berubah?

“ Eh..engga. Engga berubah. “ aku tergagap. Tapi aku berusaha tenang. “  Ya udah. Kirim ke Hong Kong. Aku sedang di Hong kong” kataku sekenanya. 

“ Baik. Besok dia akan terbang ke Hong kong. Kamu jemput ya di Bandara”

“Loh kamu engga antar. “

“ Maaf, engga. “

“ Kenapa ?

“ Apa harus ? 

“ Eh engga. Ya udah. Aku tunggu di Bandara. Pastikan skedul terbangnya. “

“ Ya. Pastikan kamu jemput. “

“ Tentu.” 

***

Sesuai jadwal aku sudah di Bandara Hong Kong 15 menit sebelum pesawat mendarat. Tidak ada laporan delay. Tetapi sudah lebih 20 menit sejak pesawat mendarat, Emi belum nampak keluar dari kuridor kedatangan. Aku sempat cemas.  Padahal aku sudah bawa poster memperkenalkan namaku. Kawatir Emi lupa wajahku.

“ Papa…” terdengar panggilan dari arah samping. Aku menoleh. Nampak olehku gadis cantik. Lebih tinggi dariku. Mungkin 170 cm. Dia tersenyum cerah ke arahku.

. “ Emi.? Seruku. Dia mengangguk dan tersenyum. Matanya seakan tenggelam dalam senyuman itu. Aku merentangkan kedua tanganku. Tanpa ragu Emi merangkulku. Erat sekali. “ Aku kangen pa” Katanya halus. Aku sempat terkejut.. Bagaimana dia bisa bahasa indonesia.?

“ Kamu udah besar, Emi. Tinggi lagi.” kataku membalai kepalanya. Dia tersenyum. 

“ Kamu bisa bahasa indonesia.? kataku.

“ Ayumi ajarin aku. Katanya, aku tidak akan bertemu dengan ayahku kalau tidak bisa bahasa indonesia.” 

“ Oh. Bagaimana kamu bisa kenal wajah papa, Kan ini kali kita ketemu sejak kamu balita…?kataku melongok. Emi memberikan photoku dan dia waktu baliita. " Photo ini selalu ada di dompetku. Setiap pagi bangun tidur, photo ini aku liat. Berkali kali photo ini di reproduksi oleh Ayumi. Agar aku selalu bisa melihat wajah Papa. " Katanya. Membuat aku terharu.

“ Aku kangen papa.” katanya dengan airmata berlinang.

Aku rangkul dia kembali. “ Ya sekarang kamu sudah sama papa. Mari kita pulang” 

Aku membawa Emi tinggal di Apartemenku di Hong Kong. Aku masih bingung memikirkan masa depan Emi. Dimana dia harus tinggal. Sementara aku tidak menetap di Hong Kong. Dia bagian masalaluku yang tidak mungkin aku bahas dengan istriku. Ini tetap menjadi catatan gelap masa laluku. Tetapi dia tetap putriku, tanggung jawab dunia akhirat. Sampai di apartemnet. Emi dengan manja melihat kamarnya. Aku memang mempersiapkan kedatangannya dengan baik.

Keesokannya, waktu sarapan pagi…

" Papa dimana ibuku ?Kata Emi

Aku terkejut.

" Mengapa kamu bertanya seperti itu? “

" Karena Ayumi bilang bahwa aku punya ibu. Dimana dia ?

“ Ayumi engga cerita.?

Dia menggeleng penuh tanda tanya.

Aku tak bisa menjawab. Aku pergi ke dalam kamar. Aku segera telp Ayumi.

“ Mengapa Emi tanya soal ibunya. Bukankah kamu ibunya?

“ Kalau dia tahu aku ibunya, dia tidak akan mau berpisah denganku. Jadi selama ini aku cerita bahwa aku ibu asuhnya”

“ Mengapa ? Aku tetap tidak bisa percaya.

“ Emi milikmu, Angga. dan kamu membayar semua kebutuhannya termasuk jasa saya merawat dia." 

“ Berapapun bayaran tidak akan cukup dibandingkan cinta yang kamu berikan untuk Emi selama  membesarkannya” 

Ayumi hanya diam. Aku tahu dia pasti menangis. Aku membayangkan betapa berat bagi Ayumi harus berbohong demi menuntaskan tanggung jawabnya agar dia bisa mengirim Emi kepadaku. 

“ Maafkan aku, Angga”

“ Ya udah. Nanti aku selesaikan masalah ini. “Kataku kembali ke meja makan. “ Ibumu ada dihatimu selalu.Yakinlah. “Kataku membelai kepada Emi.

“ Boleh saya anggap Ayumi ibu kandungku.?

“ Tentu boleh sekali.”

Suasana hening. Begitu banyak kekakuan terjadi dihadapan putriku sendiri. Entahlah. Inikah harga yang harus kubayar karena tidak pernah dekat dengan dia.

“ Gimana dengan rencana sekolah mu.” Kataku

Emi memperlihatkan surat panggilan dari Universitas. “ Ke London. Cambridge university ? Seruku.

Emi mengangguk. 

“ Kamu terima? 

Emi mengangguk.  “ Boleh kan Papa? katanya dengan nada kawatir.

“ Tentu boleh. Papa bangga sekali. Papa akan siapkan biaya kamu ke London, dan juga tempat tinggal kamu.” 

Emi langsung berdiri dari tempat duduknya dan merangkulku. Dia senang sekali. “ Tetapi aku ingin Ayumi juga ikut aku, tinggal bersamaku ke London. Boleh kan Papa.”

“ Boleh. Mengapa ?

" Ayumi selalu bercerita betapa dia bangga aku punya ayah yang selalu mencintaiku dan dia harus menjagaku dengan segenap cintanya agar dia bisa melaksanakan tugasnya dengan baik dan menyerahkan aku kepada Papa setelah tamat SMU. Karena itu izinkan aku memanggilnya ibu dan menemaniku”

“ Kamu udah gede, kan harus mandiri, sayang”

“ Dari kecil aku selalu dijaga Ayumi. Aku belum siap berjauhan dengan Ayumi.” Wajahnya nampak mendung. Aku luluh. Ternyata cintanya kepada Ayumi tertanam begitu kokoh walau dia tahu bahwa Ayumi bukan ibu kandungnya.

“Ya. Udah. Boleh. Ayumi akan ikut kamu. Ayah akan siapkan segala galanya. Apalagi?

" Setelah aku tamat kuliah dan bekerja, boleh Ayumi  tinggal bersamaku."

" Boleh , tapi mengapa ?

" Aku ingin merawatnya seperti dia merawatku sedari kecil. Boleh ya Papa?.."

' Boleh !" aku memeluk Emi dengan erat. Biarlah waktu nanti akan bercerita. Ada saatnya nanti aku akan cerita bahwa Ayumi adalah ibu kandungnya sendiri. 

***
Tahun 2007. Hong Kong. Kami jalan kaki menyusuri pinggir dermaga di  pagi hari. “ Emi,  sudah sarjana ,sebentar lagi akan menikah. itu pasti. “ Kata Ayumi.

“ Ya, Dia sudah cerita soal pacarnya” Kataku. Mengajak Ayumi duduk di korsi taman menghadap dermaga. 

“ Tidak terasa telah 24 tahun kebersamaan kita. Itu terhitung sejak kali pertama aku mengenal kamu.” Katanya. Dia menatapku dari samping. Wajahnya nampak menua. Kami saling bertatap.

“ Angga..” katanya menyentuh pipiku dengan kedua telapak tangannya. “ Kamu adalah pria yang pertama dan terakhir dalam hidupku. Selama bertahun tahu kehadiran Emi melengkapi hidupku. Seakan kamu selalu hadir bersamaku. Dalam diri Emi ada kamu, dan itu selalu membayang dalam setiap aku memandang Emi. Kututup jendela hatiku dari semua pria. Mungkin aku bisa mencintai orang lain, tetapi tidak akan pernah sesempurna aku mencintai Emi dan kamu, Angga.”

“ Tapi mengapa dulu kamu tinggalkan aku ?

Ayumi terdiam. Dia melepas kedua telapak tangannya dari pipiku. 

“ Aku tahu pernikahan kita tidak direncanakan. Aku tahu kamu ketika itu belum siap. Dan kamu tidak mencintaiku dengan sesungguhnya. Aku memang salah. Tapi jauh lebih salah bila aku membebanimu dengan hidupku dan Emi. Apalagi ketika itu kamu masih sangat muda sekali”

“ Dan kamu pergi tanpa bersalah karena itu?

“ Aku tidak sanggup mengucapkan goodbye bila harus menatapmu, Angga. Tapi aku harus pergi. Jangan tanya bagaimana perasaan hatiku ketika harus berpisah dengan orang yang aku cintai. Berat sekali, Angga. “ Yaumi menangis.  Aku bisa memakluminya. Aku tahu Mi sangat mencintaiku.

“ Dan mengapa akhirnya kamu mencariku dan Emi? tanyanya.

“ Kamu engga bisa bayangkan bagaimana rasanya menjadi utuh sebagai seorang pria. Itu kurasakan ketika kamu melahirkan Emi. Itu kali pertama dalam hidup aku merasa sangat diandalkan oleh Tuhan untuk mendidik seorang anak manusia. Aku merasakan menjadi pria itu bukan hanya berkah tetapi juga kehormatan ketika kita bisa diandalkan sebagai ayah dan suami. Itu sebabnya aku bekerja keras siang malam dan berdoa kepada Tuhan agar aku dapat kesempatan bertemu dengan putriku, dan tentu kamu”

Yaumi terdiam. Dia menatap arah dermaga.. Pandanganya jauh. Seakan ingin menggapai ujung langit. “ Sampai kini kamu selalu ada disaat aku dan Emi membutuhkan. Semua masalah Emi kamu selesaikan dengan sempurna. Tetapi mengapa kamu tidak ingin dekat dengan Emi?  katanya tanpa menatapku. Seakan dia tidak siap menerima jawabanku.

“ Aku ingin Emi lebih dekat kepadamu. Dan aku ingin Emi jadi tongkatmu di masa tuamu. Itulah harapanku sesungguhnya kepada  Emi.”

“ Hanya aku alasannya.?

" Ya. Kalau Emi mencintaimu dan menjagamu hidupnya aka selamat. Tuhan akan menjaganya. Itulah keyakinanku, dan juga harapanku untuk putriku" 

" Aku maklum walau kamu kurang kebersamaan dengan kami, namun dengan perbuatanmu aku merasakan cintamu begitu sempurna.”

“ Aku mencintai mu dan Emi karena Tuhan, Mi. Kita bertemu karena Tuhan dan berpisahpun karena Tuhan. Dan akhirnya kita tetap saling menjaga juga karena Tuhan, ya kan” 

Ayumi merebahkan kepalanya di dadaku. “ Terimakasih Angga. Malam kemarin luar biasa sekali. Aku bisa rasakan , cintamu tidak pernah berkurang sedikitpun." Katanya dengan tersenyum malu, wajah merona. Teringat dulu sebelum kami menikah, ketika aku sakit, Mi lah yang merawatku. Ketika dia pergi tanpa pamit, dia tinggalkan uang di dalam lemari kamar. Itu uang tabungannya selama bekerja. Dia tahu betul impianku untuk mendiri tapi terkendala modal. Dia tahu betul aku tidak nyaman dengan pekerjaanku sebagai salesmen. Dia ingin aku sukses dalam bisnis tanpa harus dibebani dia dan Emi. Ya, bagaimanapun itu sudah masa lalu. Ayumi sudah membuktikan cintanya kepadaku dan aku bersyukur mendapatkan wanita yang benar benar mencintaiku, dan selama hidupnya berkorban untuk itu.   “ Terimakasih sudah mendidik Emi , menjaga Emi dengan baik dan luar biasa.” hanya itu yang dapatkan kukatakan. 

“ Hari ini aku kembali ke Tokio bersama Emi. Bulan depan, Emi akan kembali ke London. Dia dapat kerjaan di sana.” 

“ Jaga diri kamu baik baik. Terimakasih,Mi “ 

Ayumi menatapku dan memelukku erat seakan tidak  ingin berpisah denganku. Pagi di dermaga itu begitu sunyi.  Suara kapal melenguh tanda akan lepas dari dermaga menuju samudra. Ya sebentar lagi Mi dan Emi akan pergi dariku, untuk menjalani hidupnya tanpa aku...namun doaku akan selalu ada untuk mereka berdua..

Berbalas kebaikan...






Aku duduk di ruang tunggu menjelang boarding di Bandara Soekarno-Hatta ketika waktu hampir melewati tengah malam. Tiba-tiba saja aku menyesali kenapa terlalu cepat tiba di situ. Seharusnya aku buang waktu dulu di koridor sambil melongok apa saja yang bisa kulihat. Ketika kuingat tak satu pun toko-toko di situ yang masih buka ketika aku lewat tadi, aku merasa benar sudah duduk di situ. Ya, tengah malam, banyak orang yang sudah terlelap. Akhirnya kutelan juga kegelisahan sambil melahap berita malam di pesawat TV, siapa tahu ada berita yang menjelaskan apa yang terjadi.
Aku sebenarnya tak menangkap benar apa yang diberitakan meski mataku terpaku ke layar kaca. Yang kulihat adalah acara TVone, wajah tua dan suara serak serak basah Pak Karni. Kadang aku tersenyum mendengar perdebatan omong kosong itu. Pak Karni memang sengaja merancang acara untuk ajang debat omong kosong, dan tentu menarik bagi orang yang otaknya sebesar kacang mede. Tetapi setidaknya dari acara TVone itu, aku bisa tahu betapa menyedihkan pemikiran kaum intoleran karena  pengaruh fundamentalis agama. Mengapa aku bilang menyedihkan. Karena di zaman di mana orang berbaur tanpa disekat SARA, eh ini ada orang terbelenggu kebebasannya berpikir karena dokrin politisasi agama. Tidak ada kemerdekaan yang asasi kecuali kebebasan berpikir. Mereka yang terbelenggu pemikirannya itu, mereka belum merdeka dalam arti sesungguhnya
Tiba-tiba seorang ibu melintas di hadapanku. Ia membungkuk sedikit untuk meminta izin lewat di hadapanku karena kakiku yang selonjor menghalangi jalan. Ia duduk terhalang satu kursi di samping kiri tempat dudukku. Aku meliriknya: seorang wanita etnis Tionghoa. Walau usianya bukan muda lagi, tetapi, kencantikannya memang oke punya. Tubuhnya langsing, indah. Tak kuteruskan mereka-reka bagaimana masa remajanya. 
Sesudah itu segerombolan orang tiba. Mereka begitu membeludak bak air bah, seolah-olah mereka tadi tertahan di pintu gerbang, lalu barusan seorang petugas memberi jalan. Berbagai bahasa terdengar tak kupahami. Hanya aku dan beberapa orang saja yang orang Indonesia. Kebanyakan orang china yang mau pulang kampung. Mereka menyebar dan mencari tempat duduk. Memang tujuanku adalah Beijing.
Seorang balita mendadak berlari ke depan dan melintas di hadapanku. Lalu mengamati apa saja yang dia suka. Ibunya membiarkannya. Ia tak terlalu sipit. China. Laki-laki. Si wanita di sampingku meliriknya. Ia tampak gemas kepada anak itu. Aku menangkap senyum wanita itu. Ia mencari sesuatu di tasnya, mengeluarkan handphone-nya, lalu memencet serangkaian nomor.
“Anita, Ibu membangunkanmu, ya?” Bahasa Indonesianya membuat aku meliriknya. “Ibu meneleponmu karena ingat Ivan. Dia sudah tidur?” Terdiam sebentar. Aku yakin ia sedang mendengar sahutan dari seberang.
“Di sini ada anak sebesar Ivan, besarnya sama dan mirip banget wajahnya. Dia di hadapan Ibu sekarang. Makanya Ibu jadi ingat Ivan,” katanya lagi.
Ia mendengar sahutan lagi dari seberang.
“Ibu lagi di ruang tunggu, sebentar lagi boarding. Sudah, ya!”
Ia mengemasi telepon selulernya. Aku melihat dengan sudut mata ia memasukkan handphone-nya ke dalam tas tangan. Wanita ini tak membawa tas besar. Aku yakin bawaannya sudah masuk bagasi pesawat.
Aku pindah duduk ke samping kiri hingga tepat berada di sebelah kanannya.
“Saya pikir ibu orang China. Maaf tadi saya menguping.”
Aku tak menyangka kalau dia tak terkejut.
“Saya bicara dengan anak saya. Melihat anak itu jadi ingat cucu,” ujarnya dengan tata bahasa yang bagus sambil menunjuk anak kecil dengan lirikan matanya. Senyumnya mengalir tulus.
“Usia berapa?”
“Sebesar itu, dua tahun.”
“Sedang lucu-lucunya.”
“Ya.”
“Tinggal di mana ?”
“Jakarta. Bilangan PIK”
“Kapan terakhir ke Beijing?”
“Sudah lama sekali. Saya sudah sulit membayangkannya. Terakhir waktu bulan madu kedua pernikahan kami."
“ Ada apa ke Beijing ?
“ Lihat anak saya yang bungsu kuliah di sana. Tadi papanya yang sering liat, tetapi sejak tahun lalu, papanya meninggal. Saya harus menjenguknya kalau kangen. Anda ?” Katanya.
“Hanya bisnis trip. ”
“Hanya ke Beiing?”
“Tidak. Dari Beijing langsung ke Hong Kong. “
“ Oh. Saya lagi bingung.”
“ Kenapa ?
“ Saya tidak mungkin tinggal di apartemen anak saya yang berukuran kecil dan bersama dengan temannya. Sementara saya belum ada hotel. Saya sudah mencoba registrasi melalui internet. Tak satu pun berhasil. Semua penuh. Rupanya acara Olipiade Beijing mendatangkan berkah bagi bisnis wisata. Tetapi kerinduan kepada anak membuat saya nekat juga. Moga anak saya bisa dapatkan kamar hotel untuk saya.”
“Anda bisa tinggal di Paninsula Hotel Beijing.” kataku menawarkan.
“Terlalu mahal dan apa mungkin masih ada kamar ?
“ Pakai kamar saya. Saya punya time share di hotel itu. Jadi ibu bisa tinggal disana sesuka ibu“
“ Tapi anda?
“ Saya tidak nginap. Saya pakai kamar hotel hanya untuk madi. Setelah itu rapat, dan malamnya terus ke Hong Kong. “
“ Anda pengusaha?
“ Ya. “
“ Tentu tidak mudah menjadi istri pengusaha. “ 
Pembicaraan kami terpotong oleh suara petugas yang mengumumkan penumpang agar segera masuk pesawat.
“Mengapa ibu bertanya seperti itu?” Aku memberanikan diri bertanya balik.
Ia tersenyum. “Itu pengalaman yang tak mungkin saya lupakan ketika suami saya belum meninggal. Waktu kebersamaan yang kurang dan kadang paranoia tidak pernah bisa hilang. Berat sekali melawan sepi dan paranoia.  Kalau ingat saya marah marah kedia. Padahal dia baru sampai dari business trip yang melelahkan. Tetapi suami saya sangat sabar dengan sikap saya. Setelah dia meninggal, rasa bersalah tidak pernah hilang. Kini, doa saya kepada almarhum suami tidak pernah putus. ” katanya, lalu bangkit.
Para penumpang masuk ke koridor yang menghubungkan ruang tunggu dengan pintu pesawat. Dimulai dari keluarga si balita. Aku tak sempat mengikuti ibu tadi. Tak tahu juga namanya. Sayang, harapanku untuk bisa duduk berdampingan di pesawat juga tak kesampaian. Aku di cabin business class dan dia economy class.
Sampai di Beijing Capital International Airport, kami turun. Keluar dari gate imigrasi, aku berusaha mencari ibu itu tadi. Tak berapa lama nampak dia melambaikan tangan. 
“ Ibu di jemput ?
“ Ya. Anak yang jemput”
“ Kalau begitu, nanti ajak anaknya ke hotel paninsula. Ini kartu nama saya. Tinggal berikan kartu nama saya, petugas reservasi akan memberikan kunci kamar ke ibu”
***
Sampai di hotel jam 11 pagi. Aku mandi dan ganti pakaian. Turun ke lobi sudah ada staf kantor menantiku. Kami pergi ke tempat meeting. Meeting berlangsung sampai sore hari. Usai meeting aku diantar ke Bandara lagi untuk ke Hong Kong. Aku baru menyadari ternyata aku belum makan siang. Ada niat mau makan di Bandara tetapi waktu boarding sudah mepet sekali. Aku putuskan langsung boarding. Waktu itu aku merasa asam lambungku mulai bergolak. Kepalaku agak pusing. Tetapi aku berusaha menenangkan diri dengan membaca. Di dalam pesawat, pramugari memberi aku minuman welcome drik. Wine. Saat itulah kepalaku semakin pusing.
Ketika pesawat take off, aku merasa dunia berputar dan pandanganku mulai kabur. Setelah itu aku tidak sadarkan diri. Ketika aku sadar di sampingku ada wanita . Dia tersenyum. “ Syukurlah anda sudah siuman.” katanya seraya memanggil pramugari. 
“ Tadi anda sempat tidak sadarkan diri. Tetapi untunglah di samping anda ada wanita itu. Dia dokter. Dia menuntun kami memberikan pertolongan kepada anda. Menurutnya anda akan baik baik saja. “Kata pramugari.
“ Terimakasih” kataku melirik wanita itu.
“ Anda terlalu lelah dan perut anda kosong. Dengan memberikan air panas dan sedikit garam, itu bisa membuat perut anda nyaman, dan aliran darah kembali normal seperti biasa. “ Katanya.

Wanita di samping aku duduk ini, usianya sama dengan wanita yang tadi aku temui di Bandara Soeta. Tapi dia orang Korea. Kebaikan spontan yang kita beri ternyata selalu berbalas kebaikan spontan juga. Memberi dengan ikhlas selalu berbalas, tak penting etnis atau agamanya. Bukankah kemanusiaan menjebol batas etnis dan agama. Semua karena Tuhan dan kembali kepada Tuhan, tentunya.

Nuri...





Tahun 1999
Di jalan Mh Thamrin , tepatnya di gedung Sarinah. Ketika itu jam 2 dini hari. Saya baru saja usai mengajak tamu asing makan di restoran Mc Donald. Ketika akan sampai dipelataran parkir nampak di luar pagar ada gadis kecil ( mungkin usianya tak lebih 9 tahun ) sedang ditarik tangannya secara paksa oleh pria perkasa. Saya tertegun melihat pemandangan ini. Karena gadis kecil itu dua kali terjatuh ketika berusaha melepaskan diri dari pagutan pria perkasa. Di belakangnya ada seorang wanita dewasa memandangi keadaan itu dengan tatapan kosong. Tak banyak orang yang melihat peristiwa itu. Tamu saya langsung beraksi untuk memberikan pertolongan kepada wanita itu. Sayapun secara replek membantu.

“ Ada apa ini ?“ Kata saya

“ Lo jangan ikut campur !! “ teriak pria berorot itu dengan muka garang. Sementara gadis kecil itu terus berontak tapi tidak ada air mata kecuali matanya memancarkan rasa takut teramat sangat. Naluri kemanusiaan saya bangkit “ Anda tidak lepaskan, anda harus berhadapan dengan kami “ kata saya sambil memandang tamu saya. Karena tamu saya bertubuh besar, membuat sedikit nyali pria itu mengendur. Kesempatan ini saya gunakan untuk menarik gadis kecil itu. Pria itu langsung berjalan menjauhi kami dengan tatapan penuh amarah .

Gadis kecil itu menatap saya dengan tatapan kosong penuh takut sambil melirik kearah pria itu berlalu dari hadapannya.

“ Terimakasih Pak..” Kata wanita dewasa yang segera menarik gadis kecil itu dari saya “ Itu tadi preman jalanan. Dia memang sering datang kemari untuk meminta uang kepada kami yang mangkal di sini. Minggu lalu saya tak bisa kasih uang tapi anak saya dibawanya pergi. Saya tidak tahu apa yang dilakukan pria itu tapi setelah itu anak saya sangat tekut bila bertemu pria itu”

“ Ini anak Ibu ?“

“ ya pak..

“ Dimana suami ibu ?

“ Di senen pak.. “

Setelah berpikir sejenak akhirnya saya memutuskan untuk mengantarnya kepada suaminya “ Tidak usah pak. Kami tidak punya rumah. Saya dan suami saya tidak tentu dimana harus tidur. Kami hidup di jalanan. Saya pemulung dan anak saya mengamen, juga suami saya pemulung “

Saya terhenyak. Di depan saya ada dua orang wanita. Lemah dan teramat lemah. Anaknya adalah generasi masa depan bangsa dan orang tuanya adalah generasi yang gagal dimanusiakan oleh negara. Akankah kelak , nasip anaknya akan sama dengan orang tuannya. Tak banyak yang dapat saya katakan untuk membantunya kecuali berdoa dan memberi sedikit uang untuk dia bertahan, entah sampai kapan.

Ketika saya keluar dari pelataran parkir, saya melihat gadis kecil itu kembali dalam keadaan yang sama. Berusaha melepaskan diri dari cengkaraman wanita dewasa itu. Tapi kini dia meraung. Sayapun mengarahkan kendaraan kearah mereka. Ketika saya turun, wanita dewasa itu berlari meninggalkan gadis kecil itu sendirian. Nampak gadis kecil itu terduduk di jalan setengah membungkuk. Betapa terkejutnya saya , tangan gadis kecil itu berdarah. Segera saya gendong gadis kcil itu ke dalam kendaraan untuk membawanya kerumah sakit. Didalam kendaraan gadis kecil itu badannya menggigil dikecam rasa takut. Matanya meredup dan tubuhnya menyender kejok kendaraan. Tamu saya menatap dengan air mata berlinang..

‘ Kenapa kamu tidak mau ikut dengan ibumu ? tanya saya dengan lembut kepada gadis kecil ini.

“ Dia bukan ibu saya..bukan…” Katanya lirih. Saya terhentak. Bagaimana mungkin seorang ibu yang dapat berkata begitu manisnya untuk dipercaya sebagai pelindung tapi ternyata tak lebih rubah yang juga pemangsa manusia yang lemah. Tak ada bedanya pria dewasa yang berbadan kokoh tadi.
“ jadi ..ibu kamu dimana , nak “
‘ Saya tidak tahu…”

Kembali saya terhenyak. Anak seusia ini harus menanggung kerasnya kehidupan disebuah negeri yang akrab dengan musim semi, yang di kelilingi oleh kekayaan alam melimpah, yang berbudaya dalam didikan agama samawi. Akankah anak ini mengerti semua apa yang ada disekelilingnya. Akankah …bila setiap hari keamanannya terancam oleh wajah wajah bertopeng malaikat namun berhati iblis. Kemana dia harus berlindung dan siapakah yang harus bertanggung jawab dengan ini semua. Ada lebih 300.000 anak jalan seperti ini di Jakarta. Nasipnya mereka tak jauh beda. Terancam dan terexplotaisi oleh orang orang dewasa yang perkasa…

Sepulang dari Rumah sakit, anak ini baru kami ketahui nama lengkapnya adalah NURI. Tiga hari di opname anak ini sehat kembali. Tamu saya berkebangsaan Amerika berbulat hati untuk mengadobsi anak ini.

Tahun 2009
Di Bandara , di terminal kedatangan saya lihat dari kejauhan nampak Tom berjalan kearah saya. Di sampingnya nampak istrinya dengan dua orang gadis belia. Dua duanya adalah wanita. Namun satu berkulit coklat dan satunya lagi berkulit putih. Yang berkulit coklat berlari kencang kearah saya “ I miss you so much..uncle..” sambil memeluk saya erat . Nampak Tom tersenyum dan istrinya menatap haru. Memang sejak Nuri tinggal bersama Jhon, kami sering video call lewat skype.  Nuri selalu ikut dalam video call tersebut.

“ Nur , diterima di Universitas . Dia cerdas sekali. Selalu rangking terbaik di sekolah.” Kata Jhon.
“ Ketika kami menanyakan hadiah apa yang dia inginkan atas diterimanya di Universitas, maka dia memilih untuk mengunjugin Jakarta. “ Kata istri Jhon.
“ Kamu cinta Indonesia, sayang “ tanyaku sambil tersenyum
“ Ya Om” Nur berkata dengan mata memerah seakan menahan tangis. Dia mungkin merindukan teman temannya yang entah bagaimana nasip mereka. 

***
Mengingat Nur mengingatkan saya kepada anak anak terlantar di jalanan yang kini menurut data 2019, masih ada 12.000 anak terlantar yang tinggal di jalanan. Mereka korban dari orang tua yang gagal. Tetapi jauh lebih gagal negara dalam menjaga mereka. Mengapa Negara lebih pedui kepada anak Ex ISIS yang dididik untuk menjadi monster, sementara anak jalanan tidak terpikirkan seperti negara memikirkan anak anak ex kombatan ISIS. Ketika cinta by conditional, maka politik pun menampilkan drama kepedulian kepada anak, dan itu anak Ex Kombatan ISIS. Sikap hipokrit politik memang menyedihkan.


Thursday, April 30, 2020

Selamat tinggal Ben,...





Sore itu ada pria berdiri depan pagar rumahku. Tadinya aku pikir petugas pos. Ternyata bukan. Wajahnya membuat aku terkejut. Betapa tidak? Dia adalah pria dari masa laluku. Tapi mengapa dia tampak kumuh dan kurus? 


“ Mira, aku mohon maaf. Entah kemana lagi aku akan pergi. Aku butuh uang untuk anakku yang sedang sakit keras. “ katanya ketika ada di depanku. Aku terenyuh dan sedih. Dia dulu yang kubanggakan. Kini nampak lemah dan kalah. 


“ Berapa kamu perlu uang, Ben?


“ Rp. 2 juta saja. Maaf, kalau itu memberatkanmu.” Katanya. Aku masuk kamar dan segera menyerahkan uang itu. Dia terpana dengan uluran tanganku. “ Terimakasih, Mira. Maaf. Aku tidak bisa lama lama. Harus segera pulang” Katanya berlalu. " Di luar aku lirik ada wanita kumuh berdiri agak jauh dari depan pagar rumahku. Mungkin itu istri Beni.


***

Dulu, ketika aku masih remaja. Saat senyumku masih seranum mangga muda. Dengan rambut tergerai hingga di atas dada. Ketika aku yakin tak mungkin bahagia tanpa Beni. Ah, aku jadi teringat pada percakapan-percakapan itu. Percakapan di antara rasa gemetar dan malu-malu. “ Bagiku, kamu adalah cinta pertamaku. Bagimu aku cinta pertamamu. Tetapi ketika menikah nanti, kita akan menjadi produk masa depan. Yang lalu hanya tinggal catatan. “ kataku


“ Maukah kamu berdamai dengan kenyataan, bahwa proses masa depan itu belum tentu seperti kamu mau. Karena kita tidak hidup dalam dimensi pikiran kita, tetapi dalam dimensi pikiran Tuhan. Memahami itu,  kita dipaksa bersabar akan sebuah proses yang terus berlanjut sepanjang usia. “ Ben menimpali.


“ Bukankah Tuhan berkata, sabarlah dan sholatlah? Sabar lebih dulu dipahami sebelum kita diharuskan melaksanakan Sholat”  Kayak


” Ya sabar itu semudah mengucapkan, namun tidak banyak orang menyadari bahwa sabar itu adalah kepatuhan akan sebuah proses sunatullah. Kadang orang percaya kepada Tuhan, tapi tidak percaya kepada hukum ketetapan Allah. Naif sekali ya Mir.”


“ Kadang sunatullah, itu menghadapkan orang dengan dilema. Baik menurut akal tetapi tidak sesuai dengan kehendak hati. Sesuai dengan kehendak hati, tetapi tidak sesuai menurut akal.” Aku tersenyum, karena aku sendiri tidak akan pernah bisa memahami kalau dilema itu terjadi.


“ Dan karena itu, manusia harus memilih. “ Kata Ben cepat.


Aku mengangguk. “ Dan tidak ada satupun pilihan yang sempurna.“ 


“ Aku selalu membayangkan, apapun pilihan, kamu akan tetap yang utama” Kata Ben. Ben tersenyum, kemudian menciumku pelan. 


”Tapi bukankah kamu mengatakan kita hidup dalam dimensi pikiran Tuhan, bukan pikiran kita .” Kataku


”Hahaha,” Ben tertawa renyah. ”Benar, tetapi Tuhan maha pengasih lagi penyayang, dimensi pikiranNya akan sama seperti dimensi pikiran kita” 


”Lalu apa yang akan kamu lakukan bila pikiran kamu tidak seperti pikiran Tuhan?


”Aku akan protes kepada Tuhan.” Kata Ben. Aku tertawa.


”Aku akan protes kepada Tuhan….” aku masih ingat keluguan Ben. Aku selalu membayangkan itu. Karena keluguan itu aku larut dalam cinta buta. Membiarkan Ben melucuti pakaianku. Meniduriku. Hari itu aku serahkan harapan dan kegadisanku. Keesokanya Ben pergi ke kota lain untuk melanjutkan pendidikannya. Aku tetap di kotaku melanjutkan ke universitas. Aku akan menanti Ben 


***

Budi tadinya tukang kebun di rumahku. Dia hanya tamatan SMP. Ayahku memberi kesempatan Budi sekolah sampai tamat SMA. Setelah tamat SMA, Budi bekerja membantu ayah di pabrik Bata. Tidak ada yang istimewa tentang Budi. Wajahnya keras. Pendiam. Taat beragama. Terkesan pemalu terhadap wanita. Ketika ayah meninggal, Ibuku percayakan pabrik itu kepada Budi untuk kelola. Aku sebagai anak tunggal sangat diharapkan ibu bisa secepatnya tamat kuliah dan menikah untuk melanjutkan usaha keluarga warisan Ayah.  Benarlah. Aku tamat kuliah.  Terlibat langsung di pabrik Bata. Budi jadi asisten pribadiku. Ben kembali ke kotaku. Dia sudah sarjana. Aku berharap Ben melamarku. 


”Aku memilih menikah dengannya, karena aku tahu, hidup akan menjadi lebih mudah dan gampang ketimbang aku menikah denganmu.” Kata Ben setelah dia puas mencumbuiku.


“ Siapa wanita yang telah membuatmu berani menikahinya ? Kataku.


”Itu tak penting kamu ketahui.  Jangan hubungi aku! Karena ini  sebenarnya, bukan pernikahanku tetapi perkawinan diatara keluarga yang ingin mengembangkan usahnya semakin besar. Tepatnya pernikahan kapitalis.” kata Ben dan berlalu. 


Aku tidak menyesali yang sudah terjadi. Itu pasti terjadi. Ben telah menentukan pilihan. Barangkali, segalanya akan menjadi mudah bila saat itu diakhiri dengan pertengkaran seperti kisah dalam sinetron murahan. Misal: dia menamparku sebelum pergi. Memaki-maki, ”Kamu memang hina, Selingkuh dibelakangku i!” Atau kata-kata sejenis yang penuh kemarahan. Bukan sebuah cumbuan yang tak mungkin aku lupakan.  Ben pergi dan tak kembali lagi.


***

IBu tahu aku hamil. IBu tahu itu perbuatan Ben. Ibu tahu betapa sakit hatiku ditinggal pergi oleh Ben untuk menikah dengan wanita lain. “ Ibu sudah bicara dengan Budi. Dia mau menikahi kamu. Dia akan jaga rahasia keluarga kita.  Engga perlu ragu.  Dia sudah ibu anggap seperti anak sendiri. “ Kata ibu dengan hati hati. Aku tersetak. 


“ Mengapa pentingnya nama baik keluarga. Ini perbuatanku. Aku dengan diriku. Risikoku. Apa peduli dengan orang lain. Mengapa demi nama baik keluarga, aib yang harus ditutupi, aku harus menikah dengan pria yang tak pernah aku cintai. “ Itu kata kata yang hendak aku pakai berargumen menolak usulan ibu menikah dungan Budi. Tapi kata kata itu tertahan di tenggorokan saja. Aku tidak bisa membiarkan ibu menderita karena kebodohanku. Aku terima usulanku. 


Pada pesta perkawinan yang megah, orang tersenyum bahagia.  Tapi tidak bagiku. Budi terlalu mudah mendapatkanku. Walau Ben brengsek tapi dia berjuang panjang selama 3 tahun menaklukanku.  Walau Ben pergi tapi aku tidak akan pernah bisa melupakannya. Dia pria yang merenggut kegadisanku. Kalau Ben tahu, bahwa pada akhirnya aku menikah dengan Budi, itu tidak akan menyakitkan bagi Ben. Dia tahu siapa Budi. Aku dapat tong sampah.


”Aku hanya pria miskin. Kalaulah tampa kebaikan hati ayah kamu, tidak mungkin aku bisa tamat SMA dan akhirnya dipercaya megelola pabrik Bata” Kata Budi pada malam pertama kami.” Kalau memang aku tidak pantas jadi suamimu. Tak apa. Aku sabar sampai kau menemukan pria lain. Setelah itu aku siap menceraikan kamu untuk pilihanmu menikah dengan pria pilihanmu.” Lanjut Budi. 


”Baik.  Yang harus kamu ingat. aku tak akan pernah mencintaimu. Jadi jangan berusaha untuk membuat aku jatuh cinta. Walau kita sudah status suami istri.”  kataku.


”Baik Mira. Aku akan ingat itu.” Kata Budi. Malam pertama dan kedua tidak terjadi apapun. Memang tidak ada dorongan untuk bersetubuh. Satu saat aku terjatuh di tangga kantor. Kandunganku keguguran. Selama di rumah sakit, Budi dengan telaten merawatku. Tak pernah dia tinggalkan aku barang sedetikpun selama dalam perawatan. 


*** 

2 tahun berumah tangga dengan Budi berjalan hambar. Dia seperti pegawai kusaja. Aku tidak pernah bisa mencintainya. Beni datang lagi menemuiku. Dia dalam keadaan terpuruk akibat perceraiannya. 


“ Kesalahanku membuang berlian ditangan untuk dapatkan emas berkarat. Ternyata setelah itu aku dibuang seperti sampah.” Kata Beni dengan wajah sedih. “ Kalau istriku minta cerai aku bisa maklum. Karena aku tidak pernah bisa melupakanmu. “ Lanjutnya.  Yang membuat aku terpesona dan tersanjung. Budi tidak bisa menolak ketika aku utarakan niatku untuk bercerai dan menikah dengan Beni. Ibuku juga tidak bisa berbuat banyak. Setelah bercerai,  Budi keluar dari perusahaan Dia pergi merantau ke kota. Aku tidak tahu bagaimana nasipnya. Apa urusanku.?


Tidak lebih 2 tahun. Pabrik bataku mengalami masalah besar. Utang semakin besar. Produksi menurun. Banyak pesanan gagal delivery. AKu baru sadar, selama ini aku percaya saja kalau disuruh teken untuk hutang Bank. Beni terjebak dengan kebiasaan judi. Di tengah prahara itu Beni pergi dari rumah. Aku harus menyelesaikan sendiri masalahku. Rumah dan pabrik disita. Lewat tiga bulan Beni tidak datang ke rumah. Hanya surat cerai untukku.  Aku jatuh miskin dan menjada. Ibu sudah sering sakit sakitan.  Kami tinggal di rumah kontrakan ukuran 21 meter. 


Saat itulah Budi datang menemuiku. Dia menawarkan agar ibu dan aku ikut bersamanya tinggal di kota lain. Itu semua dia lakukan hanya ingin melaksanakan pesan dari alhmarhum ayah untuk menjaga ibu dan aku. Baru aku tahu, di kota lain Budi sudah mendirikan sendiri pabrik bata berkat bantuan rekannya yang menjadikanny sebagai mitra.


Setahun setelah itu. Budi kembali melamarku. Sebelumnya dia dipaksa menikah denganku demi menjaga kehormatan keluargaku. Tetapi kini dia melamarku hanya untuk melindungiku dan ibu. Itupun karena amanah dari Ayah. “ Kalau kamu tidak bisa mencintaiku, tidak ada Mar. Tapi demi kesehatan ibu, cobalah bersabar. Aku akan tetap hormati privasi kamu. Kapanpun kamu bertemu dengan pria yang cocok untuk kamu, pergilah. Aku akan ceraikan kamu.”  Kata Budi.


***

Kedatangan Ben ke rumahku. Seakan memberikan cahaya dalam sanubariku. Setelah 10 tahun menikah, ini kali aku merasakan cinta dan syukur sekaligus kepada Tuhan atas keberadaan Budi, suamiku. Ben memang mencintaiku tetapi Ben, bukan bagian dari kreatifitas Tuhan untuk aku berevolusi dan berbiak.  Mencintai adalah pilihan, tetapi menikah adalah kerendahan hati menerima proses kreatifitas Tuhan. 


Selamat tinggal Ben. Maaf, besok aku tidak akan pernah membuka pagar rumahku, tanpa izin suamiku. Nanti sore setelah suamiku pulang kerja, aku akan  berkata “ aku mencintaimu, dan akan terus mengabdi sepanjang usiaku. “ seraya memberikan senyum  terindah dan terikhlas untuk Budi, suamiku. Tidak ada istilah terlambat mencintai. Setidaknya dari Budi aku tahu bahwa cinta itu bukan sekedar diungkapkan dengan kata kata. Bukan sekedar bersentuhan. Bukan sekedar merasa memiiki. Bukan sekedar merasakan euforia. Tetapi cinta itu adalah sikap menerima dan berdamai dengan kenyataan tanpa amarah, dendam, benci dan memaksa. Semua adalah ujian kesabaran dalam berkorban dan memberi, yang selalu indah pada akhirnya.


Ingin jadi sahabatmu saja..

  “ Proses akuisisi unit bisnis logistic punya SIDC oleh Yuan sudah rampung, termasuk Finacial closing. Kini saatnya kita lakukan pergantian...