Saturday, August 28, 2021

Terimakasih Mas.

 



Aku yatim piatu. Punya kakak seperti Mas Rudi,  aku tidak merasa sendirian di bumi Allah ini. Kemarin malam aku sempat telp  Mas Rudi yang sedang business trip ke luar negerz “ Mas, tahukan besok acara nikahku. Kok mas masih di luar negeri.” 

“ Ya sayang. Mas mu sudah di Taipeh transit terus ke Jakarta. Diperkirakan subuh sudah sampai. Langsung ke Bandung. “


“ Mas kenapa engga dari kemarin marin pulang? Kataku 


“ Duh, Mas berusaha pulang dari kemarin marin tetapi urusan belum selesai. Tenang saja sayang. Mas pasti hadir di acara perkawinan kamu. Kamu kan adik kesayangan Mas. “ 


“ Ya mas harus hadir. Kalau engga hadir, Rani nangis..”


“ Ya ya..


Tapi pagi hari Mas Rudi sudah nampak. Padahal acara sejam lagi akan mulai. Kini mas Rudiku hadir diacara terpentingku. 


***


Setelah ayahku meninggal karena sakit, Ibuku menikah lagi. Ayah  tiriku membawa anak laki laki,  Rudi namanya. Ayah tiriku juga cerai mati dengan istrinya. Usia kami bertaut jauh. Aku usia 4 tahun. Mas Rudi berusia 11 tahun. Kasih sayang ibuku terhadap kami berdua sama. Ayah tiriku juga sangat sayang kepadaku. Aku pertama masuk sekolah TK diantar ayah tiriku. Mas Rudi pintar di sekolah. Dua keluarga kami sangat bahagia. Namun tahun ketiga, prahara datang. Ayah tiriku sakit jantung. Stroke. Selama 8 bulan dalam perawatan akhirnya meningal.


Setelah penguburan ayah tiriku, Mas Rudi diambil oleh Pamannya. Dia pindah ke Semarang. Waktu itu Bunda keberatan. “ Aku dapat amanah dari mendiang suamiku untuk merawat Rudi. Biarlah dia tinggal samaku saja. “Kata bunda.


“ Wah engga enak merepotkan mbak. Rudi biarlah saya bawa.”  Kata pamannya. Bunda tidak bisa berbuat banyak. Karena hak keluarga Rudi lebih besar untuk menjaganya. 


Setelah Mas Rudi pergi. Aku merasa kehillangan. Selama ini dia yang mengajarkanku membaca dan menulis. Dia yang selalu menjagaku. Dia selalu mengalah dengan kenakalanku. Bunda buka usaha warung depan rumah untuk melanjutkan hidup kami. Setahun setelah kepergian Mas Rudi, Bunda dapat kabar dari sepupu paman mas Rudi.


 “ Rudi saya liat sering di terminal. Dia seperti gembel. Tidur dimana saja.’ “ 


“ Kenapa? kan pamannya yang urus dia.”


“ Lah pamannya pergi ke Malaysia jadi TKI. “


Saat itu aku meliat bunda berlinang air mata. “ Dia anakku. Biarlah aku jemput kalau engga ada yang urus dia.” Kata Bunda.


Keesokannya, Bunda ajak aku pergi ke Semarang “ Ran, kita ke Semarang. Kita cari Mas Rudi kamu ya. “ Kata Bunda. Aku senang sekali. 


Benarlah sampai di terminal bus. Tidak lama mencari mas Rudi.  Dia kami dapati sedang duduk dalam kelelahan tidak jauh dari Toilet umum,  dengan bungkusan karung pemulung di sebelahnya


“ Rudi..” tegur  Bunda halus. Mas Rudi mendongak dengan raut terkejut meliat aku dan bunda. Dia segera berdiri. Bunda langsung peluk dia “ Kita pulang ya sayang. Ikut Bunda ya”


“ Tapi kata paman, aku tidak boleh tinggal sama Bunda. Karena ayahku sudah tidak ada.” Kata Mas Rudi polos.


“ Engga sayang. Ini Bunda kamu. Tidak berubah walau ayah sudah tidak ada. Mari kita pulang. “ Kata Bunda. Mas Rudi sujud di kaki Bunda. Bunda memeluknya. Akupun ikut memeluk mas Rudi. Kami seakan hari itu dipersatukan dalam cinta dan karena cinta kami akan selalu bersama tak terpisahkan.


Mas Rudi kembali sekolah kelas 1 SLTP. Mas Rudiku memang pintar di sekolah. Dia juga pintar mengaji. Pulang sekolah dia dagang asongan di stasiun. Itu caranya membantu Bunda untuk kami bisa terus bertahan dalam kemiskinan. Mas Rudi sangat sabar mengajariku matematika.  Kelas tiga SLTP dia juara sekolah, lulus dengan terbaik. 


SMU mas Rudi sudah punya lapak teh botol di stasiun. Jadi setiap hari praktis sebagian besar biaya rumah tangga yang tanggung Mas Rudi. Karena Bunda sakit sakitan. Kata dokter bunda kena radang lambung. Entahlah.Tetapi sejak itu berat badan bunda terus turun. Tidak bisa lagi sepenuhnya buka warung. Aku kelas 5 SD bunda meninggal. Karena kanker usus. Mas Rudi masih kelas 3 SMU. Kami yatim piatu. 


Keluarga ibuku membawaku pergi dan rumah dijual untuk biaya hidupku, kata Om. Soal Mas Rudi, Omku tidak peduli. Untunglah pengurus masjid dekat rumah kasihan dengan Mas Rudi. Apalagi dia sering azan sholat subuh dan maghrib di masjid. Mas Rudi bisa tinggal di Masjid. Aku berat sekali berpisah dengan Mas Rudi. “ Ran, Mas janji, tamat SMU kamu  mas jemput. Kita berkumpul lagi. Yang sabar ya Ran. “ Katanya berpesan. Ya karena situasi,  kami harus terpisahkan. Aku pindah ke Bali ikut Om. Mas Rudi tetap di Bandung. 


SLTP aku tinggal di Bali. Tamat SLTP aku dikirim oleh Omku ke rumah sepupu Om di Metro, Lampung. SMU aku di lampung . Tetapi hari hariku harus kerja keras membantu menganyam Bambu. Sejak aku pindah ke Bali dan akhirnya di Lampung aku tidak pernah bertemu dengan Mas Rudi. Aku sangat merindukan Masku. Hanya  dia satu satunya yang tulus menyayangiku. Sejak di Bali dan di lampung aku diperlakukan sangat buruk. Tapi aku ingat pesan Mas Rudi agar bersabar. Hanya sholat penolongku bertahan dari hidup yang tak ramah. Tamat SMU aku benar benar serba salah. Karena merasa dipaksa pergi dari rumah sepupuku. 


“ Asal kamu tahu aja. Om kamu di Bali tidak pernah kirim uang sejak kamu tinggal di sini. Padahal uang hasil jual rumah warisan ibumu dia yang ambil semua. Kamu itu ya tahu diri. Udah besar kok masih numpang makan di rumah. Tuh liat teman teman kamu, sudah pada pergi merantau ke jakarta. Bahkan ada yang kerja di luar negeri jadi TKW. “


Nada ketus dan tidak suka,  terasa dibebani seperti itu selalu diulang ulang. Membuat aku tidak betah. Memang apalah aku?. Yatim lagi piatu. Miskin lagi. Sementara yang kutumpangi bukan keluarga kaya. Sepupuku juga miskin. Wajar kalau mereka lelah dengan dibebani olehku. Aku menyanggupi untuk merantau ke Jakarta. Tidak ada hakku untuk bertahan.


Disaat galau dan bersiap untuk merantau itulah, satu hari aku melihat sosok pria yang tak asing ada di depan pintu rumah sepupuku.  Masku. Mas Rudi berdiri dengan gagah. Dengan senyum khasnya dia merentangkan kedua tangannya. Aku menghambur kedalam pelukannya. Aku menangis dalam pelukannya“ Kamu ikut mas ya.” bisiknya. Keluarga sepupuku senang melepas kepergianku. 


Aku dibawa mas Rudi ke Jakarta. Ternyata Mas Rudi sudah punya rumah sendiri. Dia bekerja di perusahaan asing sebagai salesman. Sering melakukan perjalanan keluar kota dan ke luar negeri. Memang sejak SMU, Mas Rudi sudah bisa bahasa inggris. Dia juga hafid Al Quran.  Walau tidak sarjana tapi Mas Rudi  cepat sekali berkembang karirnya. Berkat Mas Rudi aku bisa melanjutkan ke universitas. Aku diterima di PTN di Bandung. Dia sendiri yang mencarikan rumah kontrakan untuk aku tinggal selama kuliah di Bandung. Setiap bulan dia tidak pernah telat kirim uang untukku. 


Setiap liburan aku tinggal di jakarta bersama Mas Rudi. Aku menyediakan sarapan paginya. Memasak untuk mas Rudi. Mencuci bajunya. Mas Rudi memang sibuk sekali. Pulang selalu larut malam. Kadang keluar kota berhari hari. Tetapi kalau di rumah dia selalu jadi imamku sholat. Selalu menesehatiku untuk mendoakan orang tua. Menasehatiku untuk jaga pergaulan. Tapi anehnya mas Rudi tidak pernah cerita soal pacarnya. Padahal dia sukses dan gagah. Apalagi sekarang dia pengusaha yang bermitra dengan asing bangun pabrik kimia. Posisii direktur  pastilah banyak wanita yang suka. Aku tidak ingin bertanya lebih jauh.


Aku tamat kuliah dapat tawaran bekerja pada perusahaan swasta di Bali. Tapi mas Rudi tawarkan aku ambil S2 di Luar negeri. Semua biaya dia yang tanggung. Selama di luar negeri aku berkenalan dengan pria. Hubungan kami sudah serius. Ayah pacarku pengusaha besar di Indonesia. Ketika aku kabarkan kepada mas Rudi. dia senang sekali. “ Jaga hubungan dengan baik. Kalau kamu akhirnya menikah, menikahlah karena Allah. “  Nasehatnya. Setelah tamat S2 aku menikah. 


***

Mas Rudi hadir mendampingiku sebagai wali di acara pernikahanku.  Lengkaplah kebahagianku.


 “ Ran, tugas mas selesai melaksanakan amanah bunda. mengantarmu sampai ke pelaminan. Apakah setelah ini mas boleh menikah?


“ Ya menikahlah mas. Mana calon mbaku. Kenalkan keaku. “kataku antusias.


Mas Rudi melambaikan tangan kepada wanita yang ada ditengah  tengah undangan resepsi pernikahan. Nampak wanita bermata sipit yang cantik menghampiriku dan mas Rudi. “ Ini calon mbaku ya mas. “ Kataku. Mas rudi tersenyum. Kami saling berangkulan. 


Semoga bunda di alam baqa menyaksikan kebahagian kami. Keikhlasan Bunda menjaga dan menyayangi Ma Rudi, anak yatim piatu yang miskin dibalas oleh Allah dengan sebaik baiknya balasan.


Harga kejujuran dan kesetiaan.






Tahun 2006 ada email masuk dari orang yang tak saya kenal sebelumnya. Email itu ada di junk box. Saya baru buka setelah 1 bulan. Dalam email itu dia memperkenalkan namanya Andri. Dia mengenal dan tahu alamat email saya dari  blog saya. Terlampir proposal proyek. “ Kalau berkenan, mohon dipelajari proposal saya pak “ katanya. Saya pelajari cepat proposal itu dan kemudian saya tutup. Saya membalas email dengan ucapan “ terimakasih”. Setelah itu Andri setiap minggu sedikitnya 3 kali dia kirim email menanyakan tanggapan saya atas proposalnya. Itu berlansung selama 4 bulan. Tetapi tidak satupun saya balas.  


Satu saat Andri SMS saya.. “ Kalau bapak  ada waktu apa boleh saya bertemu. “ Katanya. Saya balas “silahkan. Saya kebetulan ada di Jakarta.” Dia segera telp saya. “ terimakasih pak. Saya sudah ada di Jakarta. Jam berapa bisa ketemu?

“ Jam 2 di Plaza Indonesia.” 

“ Siap pak.”


Ketika kali pertama bertemu saya terkejut. Dia muda sekali. Mungkin usianya belum 30 tahun. Namun cara dia bersikap sangat santun. Sopan. Kalau bicara tidak terkesan terburu buru. Penyampaian pemikirannya  runut dan mudah dipahami. Saya yakin , Andri lahir dari keluarga yang sehat lahir batin. Tidak ada kesan wajahnya tentang masa lalu yang complicated. Dia sarjana Aristek. Berambisi membangun apartement mewah di kotanya. Tapi tidak ada modal kecuali design dan mimpi serta semangat. Saat itu saya lebih banyak mendengar dan berakhir tampa jawaban apapun kecuali senyum. Tapi dia puas.


Setelah itu, saya sering ketemu kalau dia Jakarta. Lambat laun dia tidak lagi bertanya soal proposal yang dia ajukan kepada saya. Namun rasa hormatnya tidak berkurang. Pernah satu kali,  setahun setelah itu, saya diundangnya makan malam bersama istrinya. Saat  itu dia bawakan satu kotak Cigar. “ Waktu kita ngobrol di Cafe lounge di Plaza Senayan. Saya tahu bapak suka Cigar. Ini istri saya yang pilihkan waktu kami trip ke Singapore. “ Katanya menyerahkan kotak Cigar itu. Saya terharu keluarga kecil ini sangat santun kepada saya. Walau tidak ada bisnis yang dia harapkan.


Dua tahun kemudian, saya diundang teman ke Sumatera. Teman punya rencana ikut lelang tanah punya Negara. Karena lokasi tanah sudah berada di kota, jadi cocok dibuat townhouse dan apartemen. Tapi saya tidak tertarik dengan proyek itu. “ Saya mau kalau lahan ini dipakai untuk kawasan light industry kelas menengah.” Kata saya mengajukan alternatif. Tetapi tidak setuju. Sebelum kembali ke Jakarta, saya telp Andri yang saya tahu dia tinggal di kota itu. Dia senang sekali saya ada dikotanya. Hanya 15 menit dia sudah sampai di hotel saya. 


Saya ceritakan soal proyek itu. “ Pak saya juga ada rencana ikut lelang. Tetapi engga jadi ikut. Engga ada dukungan pendanaan” Katanya.

“Apa rencana kamu untuk lahan itu?

“ Buat kawasan industri kelas menengah dan sebagian kawasan bisnis. Jadi hanya industri yang tidak ada limbah yang bisa masuk dalam kawasan itu.” Katanya.

Saya terdiam. Mengapa pemikirannya sama dengan saya.

“ Kamu sudah punya rencana dan design proyek itu.”

“ Sudah pak. Kalau bapak berkenan mari mampir ke kantor saya. Saya akan perlihatkan semua.” Katanya. Saya segera berdiri dan melangkah ke luar hotel “ Mari kita bicara di kantor kamu saja” kata saya.

Benarlah. Dia memang sudah punya rencana lengkap walau masih sebatas soft design. “ Andri, kamu ikut lelang. “Kata saya dengan tegas dan mimik serius. 

“ Tapi saya tidak punya pendanaan pak.”

“ Saya akan siapkan.”

“ Wah pak. Harga tanah diperkirkan lebih Rp 1 triliun. Belum lagi biaya bangunnya.”

“ Ya kenapa ? Saya dukung kamu.”

“ Siap pak. Segera saya laksanakan proses lelang. Nanti saya lapor”

Seminggu kemudian dia telp saya. “ Pak, panitia lelang minta bukti dana sebesar Rp. 1 triliun minimal. Bagaimana saya dapatkan bukti dana itu?

“ Kamu terbang ke Singapore. Setelah sampai telp saya. Ada orang yang akan tuntun kamu dapatkan bukti dana. Pastikan bawa semua proposal proyek termasuk bukti ikut lelang” Kata saya.

“ Siap pak.”


Sebulan kemudian, dia datangi saya “ Pak, peserta lelang yang lolos hanya 2 termasuk saya. Tapi salah satunya lawan berat pak. Dia konglomerat. Padahal dia tidak punya bukti dana. Gimana ya pak. Apa mungkin kita bisa menang.” katanya dengan nada kawatir. Saya senyum aja. 


Malamnya saya ajak dia meeting dengan seseorang di Grand Hyatt. Saya perkenalkan Andri “ Saya hanya ingin pastikan, proses lelang itu konsisten dengan syarat dan ketentuan. Kan engga enak kalau sampai ada yang kalah bocorkan ke media masa dan akhirnya KPK tahu. “ Kata saya kepada seseorang itu. Usai meeting dia sempat lama menatap saya. “ Pak terimakasih. Puji Tuhan saya bertemu bapak. Andaikan kalah juga saya puas. “ Katanya berlinang air mata. “ Network bapak luar biasa. “ Lanjutnya.

Sebulan kemudian dia telp dengan riang. “ Terimakasih pak. Saya menang tender dapatkan tanah itu. Bisa saya ketemu bapak.”

“ Saya lagi di Hongkong.”

“ Saya segera terbang ke Hong kong” katanya.

Ketika menghadap saya. “ Ini pak. “ Katanya menyerahkan dokumen tebal. “ sudah ada detail engineering proyek itu lengkap dengan laporan studi kelayakan. Masalahnya darimana dapat uang. Saya engga ada uang pak.”Katanya menunduk

“ Sore kita terbang ke KL terus ke Penang”  Kata saya.

“ Siap pak.”


Setelah selesai urusan kantor saya terbang ke KL bersama Andri. Di KL saya meeting dengan relasi saya. Andri hanya diam dan menyimak saja. “ OK, B, saya akan kondisikan syarikat industri yang tertarik relokasi pabrik makanan olahan ke kawasan kamu. Saya yakin mereka mau. Apalagi jarak Penang dan kawasan industri itu dekat sekali. “ Kata relasi saya. Saya tetapkan harga kavling per meter lebih murah 50% dari kawaswan di Penang. Tentu saja dia tertarik.


Usai meeting saya ajak Andri bicara serius di Hotel. “ Masalah pasar kawasan industri itu sudah aman. Jadi kalau kita cari uang untuk pembiayaan tidak sulit lagi. Kita akan ajukan kredit ecrow. Artinya rekening penjualan diblock oleh lender dalam rekening escrow. Penyelesaian akad jual kavling melalui notaris yang ditunjuk oleh lender. Biaya proyek berdasarkan kontrak EPC. Reimburse sesuai request dari bank custody yang ditunjuk oleh lender sebagai pemilik uang. Paham.” Kata saya.

“ Paham pak. Siapa lender nya ? 

“ Kamu temui investment company ini di singapore. “ Kata saya menyerahkan kartu nama. “Dia akan atur semua.”

“ Tapi tanah belum settle karena belum dibayar.” Katanya masih bingung.

“ Ya nanti dia atur semua.”

“ Terimakasih pak. 

“ Nah tugas kamu urus semua izin yang diperlukan. Pastikan kontrak off take market dengan Malaysia ditanda tangani.  Follow up dengan baik.”

“ Siap pak. Tetapi…”Dia terdiam.

“ Ada apa ?

“ Sebetulnya saya sudah bangkrut sebelum ada proyek ini. Saya malu pak. Gimana terus merepotkan bapak.”

“ Nih uang kamu pakai “ kata saya buka tas traveling dan memberikan uang dollar dalam amplop. “ Ini USD 50,000. Sisanya nanti ditranfer ke rekening kamu.” Lanjut saya. Dia menangis ketika terima uang itu. 


Sejak itu saya tidak lagi bertemu dengan Andri. Tetapi dia terus buat laporan mingguan ke saya. Sangat detail. Sampai akhirnya proyek selesai terbangun. Laporan keuangan proyek menyebutkan dia dapat gross margin hampir Rp. 500 miliar. Itu saldo di escrow accont yang dikuasai lender. Dari Rp. 500 miliar itu dia harus memberikan share untuk skema LPF sebesar 70%. 

Tahun 2010 dia bertemu saya di Hong Kong. “ Pak, saya harus transfer kemana sisa uang di escrow ?

“ Maksud kamu? kata saya terkejut

“ Itu semua kan milik bapak. Saya hanya kerja.”

“ Itu perusahaan kamu Andri, bukan perusahaan saya. ya uang itu milik kamu. Yang harus kamu bayar yaitu biaya pra-op sebesar USD 350.000 yang kamu ambil dari saya. Itu aja.” Kata saya. Dia segera sujud dan mengucapkan terimakasih berkali kali. 


Saya angkat bahunya untuk berdiri sejajar dengan saya. “ Engga usah terlalu terbawa perasaan atas sikap saya. Biasa saja. Kamu pantas mendapatkannya. Karena kamu pekerja keras,  berniat  baik,  jujur dan setia kepada mitra. “ Kata saya. Saat itu juga Wenny masuk kamar kerja saya. Andri membungkuk sabagai sikap hormat  kepada Wenny" Pak, Ibu ini kan boss venture capital yang ada di singapore. Saya sekali diperkenalkan oleh CEO di singapore. “ Kata Andri menatap saya bengong. Wenny hanya tersenyum.  


Setelah Andri pergi, Wenny berkata kepada saya. “ Dia orang baik. Pernah mitra kita di KL tawarkan pendanaan untuk bailout uang  venture capital tapi dia tolak. Padahal dia dijanjikan dapat fee  USD 3 juta kalau proyek dilepas. Tanpa harus kerja keras lagi. Sulit cari mitra venture seperti itu dan kamu bisa temukan. Thank bro. “ 


Friday, August 20, 2021

Nisa...

 





Tahun 2017, Di lobi hotel Mandarin Guangzhou,  seorang wanita tersenyum kearah saya. Dia mendekati saya “ Bang, apa kabar? tegurnya. Saya sempat mikir siapa wanita ini. Orang china tapi bisa bahasa Indonesia. Dia terus tersenyum seakan memberikan waktu saya mengingat. “ Ah ya, Nisa kan.” Kata saya segera mengulurkan tangan. Tapi dia langsung memeluk saya. 

“ Ada apa ke Guangzhou ? kata saya.

“ Ikut Canton Fair. “ 

“ Oh usaha apa kamu ?

“ Saya punya pabrik iles iles. “

“ Iles iles crackers ? 

“ Ya. Tapi juga produksi powder untuk suplai ke pabrik kimia dan pharmasi  “

“ Jadi kamu ada booth di canton Fair?. Wah hebat kamu. “

Dia tersenyum. 

“ Lama ya kita engga ketemu. Terakhir tahun 2003. Sekarang kamu cantik dan keren..” Kata saya.

“Tumben bisa merayu.” Katanya tersenyum. “ Abang kemari ada apa ?

“ Aku juga mau ke Canton Fair. “

“ Liat doang apa punya booth?

“ Pabrikku yang punya booth. AKu mau liat aja.”

Dia ajak saya minum kopi dan setelah jam 10 sama sama pergi ke Canton Fair..


***

Nisa kali pertama saya kenal tahun 1987 waktu dia bekerja sebagai pegawai bioskop. Tugasnya sebagai kasir. Kebetulan saya kenal baik dengan anak pemilik bioskop itu. Namanya Bobi. Saya tahu dia pacaran dengan Bobi. Kalau ada makan di luar dan bertemu saya, Bobi selalu ajak Nisa. Jadi persahabatan saya terjalin dengan Nisa berkat Bobi. Waktu mereka menikah di Cirebon, saya hadir bersama istri. Setelah itu sudah jarang bertemu, bahkan kemudian putus komunikasi. Karena mereka pindah ke Medan.


Tahun 1993 saya bertemu lagi dengan Nisa. Dia kerja di restoran di bilangan Jayakarta, Mangga besar. Ada apa dia? Mengapa istri putra dari keluarga kaya akhirnya jadi pelayan restoran. “ Gimana kabar Bobi “ Tanya saya.


“ Kami sudah bercerai dua tahun lalu.”


“ Oh kenapa ?


“ Saya diperlakukan kasar. Seperti pembantu rumah tangga. Tetapi lebih buruk. Ini engga dibayar. Dia kasih uang belanja harian. Setiap hari dia pulang larut malam dalam keadaan mabok. Kadang kalau dia lagi kesel, hal sepele bisa jadi besar. Dia tidak segan pukul saya. Yang menyakitkan, kadang dia bawa perempuan ke rumah. Tidur di kamar dan saya disuruh tidur di kamar pembantu.” Katanya. Saya hampir tidak percaya. 


“ Sosok Bobi yang saya kenal dia orang baik dan lembut. Kenapa dia berubah?


“ Sejak papanya meninggal, wirasan jatuh ke dia. Kan dia anak tunggal. Hanya setahun setelah itu bioskop dia jual. Sebelumnya Ruko yang ada di Senen dan Tanah Abang juga dijual. Mungkin karena uang banyak, dia salah gaul. Ketipu berkali kali dengan temannya dan akhirnya  semua asset terjual. Diapun kenal dengan dunia malam. Ya rusaklah dia. Saya berusaha menasehati dia, malah dia pukul saya.”


“ Ya kenapa dia pukul kamu?


“ Dia selalu ungkit bahwa saya tidak perawan waktu menikah dengan dia. Dia curiga abang  yang perawani saya. Padahal saya kenal abang kan dari dia dan kita tidak pernah pacaran. “


“ Duh paranoid sekali dia.”


Sejak itu saya sering ketemu Nisa. Tahun 1994 dia menikah lagi dengan tamu restoran tempat dia kerja. Suaminya 20 tahun lebih tua dari dia. Saya senang. Tahun 1996 saya bertemu lagi dengan dia di Restoran Korea samping HI. Dia kerja disana. “ Gimana suami kamu? Tanya saya. 


“ Hanya setahun dia kontrakin rumah. Setelah itu dia tidak pernah datang lagi. Kalau di telp dia marah marah. Belakangan saya tahu dia balik lagi ke istri pertamanya. “ Katanya dengan airmata berlinang.  Sejak itu saya sering ketemu dia. Tahun 2000 dia menikah lagi dengan orang Korea. Pindah ke Semarang. Suaminya punya usaha pengolahan jahe.  Saya disconnect lagi dengan dia.


Tahun 2003 saya bertemu lagi dengan Nisa di Semarang. Dia sudah bercerai dengan suaminya. Karena kembali ke Korea. Saat itu dia cerita banyak soal bisnis suaminya. “ bang, kamu bisa bayangkan. Jahe dibeli dengan harga murah seton. Harga setelah di proses ektrak, 10 kg sama dengan harga 1 ton jahe segar. Untung gede banget. Aku tahu itu karena aku pegang kuangan suamiku. “ 


“ Terus apa rencana kamu?


“ Aku mau beli mesin blower dan mesin giling. Yang sederhana saja. Aku ada tabungan. Tetapi suamiku pergi ninggalin hutang ke petani dan uang sewa tempat. Rumah juga masih ngontrak. Terpaksa tabunganku terkuras bayar hutang. “ Kata Nisa. Saya tahu  Nisa ceritakan itu karena dia dalam keadaan putus asa. Namun tidak kehilangan harapan.


Sebulan kemudian aku panggil Nisa ke Jakarta. Aku akan bantu dia beli mesin asalkan dia bisa produksi jahe powder untuk saya ekspor, Dia senang sekali. Tapi saya tidak beri uang untuk beli bahan baku.” Tenang aja Bang. Kalau mesin sudah ada dan pabrik udah aku sewa di LIK, pedagang akan datang sendiri antar jahe. Mereka mau dibayar sebulan. “ Katanya menentramkan saya.


Hanya tiga kali ekspor 6 kontener hutang beli mesin dan sewa tempat sudah dia lunasi.  Sejak itu aku tidak lagi berhubungan dengan dia. Karena aku sudah hijrah ke China.


***

Usai menghadiri canton fair saya kembali ke hotel. Jam 7 malam, Nisa telp saya. “ Bang, Nisa undang makan malam. Mau ya?

“ Ini ajakan kencan atau apa ? Biar aku traktir. “

“ Aku yang traktir. Boleh ya.”

“ Ya udah. Di mana ?

“ Di hotel ini. Lantai atas loby. 


Ketika saya datang ke restoran, NIsa sudah lebih dulu datang. Dia menggunakan gaun sederhana namun modis. 


“ Nisa mengapa kamu waktu tahun 2003 nampak tegar. Tidak seperti sebelumnya. “ Tanyaku. Mungkin pertanyaan naif. Tetapi suka tidak suka aku adalah saksi hidup seorang Nisa. Aku ingin dapatkan hikmah dari sikap dan jalan hidupnya. 


“ Bang, semua soal pilihan.  Kegagalan pertama dan kedua, aku akui niatku salah. Niatku menikah karena ingin mengubah nasip dengan cara too good to be true. Bukan karena cinta. Penderitaanku juga bersama mantan suamiku karena berharap banyak kepada mereka.  Padahal mereka juga tidak bodoh amat. Mudah mereka bersikap mudah juga mereka lupakan. Yang salah aku. Bukan mereka. Ya mindset rakus. Apa beda dengan palacur”


“ Oh i see”


“ Karenanya aku tidak marah kepada mereka. Tidak larut dalam dendam. Biasa aja. Itu konsekwensi dari pilahanku sendiri. Waktu ketemu Bobi tahun 97, aku biasa saja. Engga ada kesan membenci. Ketemu dengan Mas Bram, juga aku biasa aja. Yang jelas aku bukan lagi wanita yang dulu mereka kenal. Sikapku itu menyembukan luka tampa noda. Saat aku mulai bangkit, dan berkembang seperti sekarang ini,  aku sadar itu karena aku hanya bergantung kepada Tuhan. Bukan kepada manusia.”


“ Hebat kamu.”


“ Yang hebat itu kamu, bang “


“ Apaan? kataku mengerutkan kening


“ Belakangan aku tanya sama teman abang, ternyata abang ekspor jahe itu ke korea. Harga modal. Abang engga dapat untung. Tapi abang bisa tarik uang dariku. Halus sekali abang bantu aku. Tanpa membuat aku rendah dan tidak berpikir macam macam. “


“ Oh gitu. Aku juga udah lupa.”


“ Tetapi setelah tahu abang membantuku, sampai kini aku terus merasa berhutang. Tahun 2015 aku temukan abang di facebook. Jadi lingkaran sahabat dumay abang. Tetapi abang tidak pernah kunjungi wall aku. Aku maklum abang ada 5000 teman. Wajarlah kalau tidak ada waktu berkunjung ke setiap teman. " Kata Nisa. " Kadang aku bermimpi menghabiskan malam bersama abang."kata Nisa dengan dengan wajah merona.


“ Engga usah merasa berhutang. Lupakan saja. Kita kan berteman. Kalau aku bantu kamu itu sudah nature aku. Biasa aja” Kata saya dan dia tersenyum. “ Kamu sudah menikah lagi ?


“ Suamiku sekarang ya bisnisku. “ Kata nisa tertawa. “ Engga mikir suami lagi. Focus ke bisnis aja.” Lanjutnya.  Kami mengakiri makan malam itu jam 11 malam. Ternyata panjang cerita. Saya liat Nisa lelah karena kebanyakan minum Wine. Saya antar dia ke kamar hotelnya. Menuntunnya ke tempat tidur dan dia merebahkan tubuhnya dengan mulut setengah terbuka. Roknya tersingkap. Nampak kakinya berbalut stoking hitam sampai pangkal paha. CD warna merah. 


Dari jendela Hotel nampak lampu kota menghias jalanan dan gedung. Malam di Guangzho seperti merangkai angan yang tak sudah. Suasana kosmopolitan tidak bisa menyembunyikan suara gaduh orang berkompetisi, mengejar waktu dan asa. Hidup memang bukan mencapai apa yang diinginkan tetapi melewatinya dengan rendah hati tampa keluhan, amarah, benci dan dendam. Pada akhirnya hidup bukan apa yang kita dapat tetapi apa yang kita beri. Semua karena Tuhan tentunya…


Saya matikan lampung kamar dan melangkah keluar kamar. “ Selamat malam Nisa “


***


Disclaimer: Nama dan tempat adalah fiksi belaka.

Sumber : Mydiary.

Sunday, August 15, 2021

Hikmah Ning

 


Nuning wanita yang saya kenal tahun 1987. Kali pertama mengenalnya waktu dia buka warung kopi di dekat pabrik saya. Kemudian saya usulkan agar dia buka warung itu di dalam lingkungan pabrik. Dia berasal dari Bojonegoro Jawa timur. Dalam usia 20 tahun dia sudah menjanda dengan 1 putri balita. Menurut cerita, dia sedari balita sudah yatim. Diasuh oleh juragan kaya. Setelah remaja dia dinikahi oleh juragan itu. Itu tujuannya agar dia tidak diganggu oleh anak anak juragan itu. Setahun menikah juragan itu meninggal. Dia dijadikan pembentu oleh anak anak juragan. 


Belakangan dia hamil. Orang kampung bergunjing. Karena tidak tahu siapa ayah anak yang sedang di kandungnya. Setelah anak lahir, dia diasingkan orang kampung. Dia terpaksa pergi merantau ke Jakarta. Anak balita itu dibawanya serta. Sempat jadi pengemis di jakarta sebelum bertemu dengan orang baik hati menampungnya. Dia bekerja di lokalisasi Tanjung Priok. Kerjaannya mencuci pakaian wanita PSK. Dibayar sesuai jumlah baju yang dicuci. Berita dia kerja di lokalisasi tersiar di kampunya. Semakin sulit dia untuk pulang kampung.


Setahun kerja di rumah pelacuran, dia sudah punya cukup uang. Temannya memberi peluang buka warung kopi di dekat pabrik. Dia keluar dari lokalisasi. Alasannya memikirkan keselamatan putrinya. Setahun buka warung dekat pabrik dia saya tawari buka warung di lingkungan pabrik. Sempat tiga tahun dagang. Tahun 1990 pabrik saya jual. Dia diusir oleh pemilik pabrik yang baru. Belakangan saya tahu dia kembali buka Warung di luar pabrik.


Tahun 1999 saya beli pabrik bata di kerawang kerjasama dengan teman dari Taiwan . Saya dapat kontrak off taker dengan BUMN kontruksi. Tahun itu juga kebetulan Nuning telp saya. Anaknya, Tika harus masuk rumah sakit. Dia tidak punya uang. Saya bantu membawa anaknya ke rumah sakit Bekasi. Setelah itu saya tawarkan dia tinggal di Mess pabrik bata di kerawang. Tugasnya jadi ART untuk mitra saya orang Taiwan yang tinggal di Mess itu. Dia senang sekali. Karena anaknya bisa ikut dia. Di pabrik dia juga buka kantin untuk karyawan.


Tahun 2002 pabrik itu saya jual karena mitra saya orang Taiwan itu meninggal. Nuning terpaksa harus pindah. Waktu dia cerita mau buka usaha buat kantong kertas. Saya beri dia modal dan uang sewa rumah setahun. Tahun itu juga  saya dapat kabar dari Nuning. Tika diterima di PTN . Saya jadikan anaknya sebagai anak asuh dengan menanggung uang kuliahnya.


Barulah saat itu saya beranikan bertanya soal ayah Tika. “ Boleh tahu Ning. Siapa ayah Tika ?


Nuning lama terdiam. Akhirnya dia berkata “ ayah Tika adalah anak juragan itu mas. Dia perkosa saya. Setelah itu dia lari ke kota”


“ Kenapa kamu tidak cerita kepada orang kampung soal itu?


“ Dari balita saya diasuh oleh juragan dan setelah Remaja kehormatan saya dijaganya. Walau saya menikah dengan juragan tetapi dia tidak pernah perlakukan saya dengan kasar. Hutang budi kepada juragan saya bawa mati. Kezoliman anaknya biarlah saya tanggung seumur hidup.” Kata nuning berlinang air mata.


Tahun 2007 Tika lulus sarjana akuntansi. Dia dapat kerjaan sebagai junior akuntan di konsultan keuangan. Ning ikut Tika tinggal di jakarta. 2008 Tika pindah kerja ke perusahaan tambang batubara di kalimantan. Ning juga ikut. Menurut Ning, setelah Tika menikah, mantunya sangat hormat dengannya. 


Moral cerita. Kita tidak bisa menilai dan menghakimi orang dengan apa yang kita tahu tentang dia.  Tidak ada orang baik. Kalau orang nampak baik itu karena Tuhan sembunyikan aibnya. Tidak ada aib tersibak yang tak sudah. Selalu ada cara Tuhan menutupinya kembali asalkan kita bersabar atas itu. Tika sumber aib dan fitnah bagi Ning, tapi Tika juga yang mengangkat derajat Ning.***


Menghormati dan menghargai






Dulu tahun 87 aku punya pabrik di pondok ungu, Bekasi. Setiap aku ke pabrik dan melintasi jalan menuju gerbang pabrik, di sudut depan jelan itu ada warung kopi dan Indomie. Pemiliknya wanita muda.  Cukup ramai pengunjung. Terutama buruh pabrik yang menanti pergantian shif kerja. Aku mampir di warung itu. Dia tidak tahu kalau dia berdagang di lahan pabrik milikku. 


“ Rame dagangnya mbak. “ tanyaku.


“ Lumayan mas. Tapi yang datang pakai dasi hanya mas “ katanya tersenyum ramah. Saya pesan  kopi. Saya perhatikan buruh pabrik yang ada di warung itu juga tidak mengenal saya. Maklum saya jarang datang ke pabrik. Kalaupun datang tidak lebih 2 jam. 


“ Yang belanja semua buruh pabrik ya mbak. “


“ Ya mas. Siapa lagi ya buruh pabrik. Tetapi saya bayar mingguan ke satpam”


“ Bayar berapa ?


“ Rp 5000”


Entah darimana datangnya. Ada orang bergerombol jalan menuju pabrik. Ternyata mereka demo GM pabrik. Saya amati mereka dari warung. “ Mas, Mereka itu protes karena dipecat. Ya wajarlah. Yang salah kepala satpam.’ Kenapa mandor dan buruh bagian printing yang dipecat. Itu fitnah dari kepala satpam. “ kata mbak pemilik warung.


“ Kok mbak tahu ?


“ Warung saya buka sampai jam 2 pagi. Sampah kertas itu yang angkut kepala Satpam sama anak buahnya. Setiap hari 1 truk sampah dibawa keluar. Mereka bagi bagi uangnya di warung ini. “ kata pemilik warung. Saya tahu sampah kertas pabrik laku dijual. 


Utusan pabrik keluar dari kantor menuju pos satpam yang ada dekat pintun gerbang. Tapi salah satu demonstran mengacungkan  golok seraya mendekati utusan pabrik. Namun karena meliat golok terayun, utusan kantor melarikan diri. Saya segera keluar dari warung dan berlari ke arah demonstran. 


“ Ada apa ini” teriak saya


“‘ Kami mau bertemu dengan boss pabrik”


“‘ Untuk apa?


“ Mau protes. Mengapa kami satu kelompok dipecat semua.?


“ Saya boss pabrik. Saya pastikan kalian tidak dipecat. Besok masuk seperti biasa. Tapi tolong jangan ada lagi demo seperti ini. Kalau ada masalah bicarakan baik baik. “


“ GM pabrik sombong boss. Satpam juga sok jagoan. Kita mau bicara dilarang. “Kata salah satu dari mereka.


Akhirnya mereka bubar. Saya pimpin rapat dengan GM, Manager, supervisor dan kepala Satpam. Depan rapat itu saya pecat kepala Satpam. Dia marah. Saya cuek aja. 


Usai meeting di pabrik saya minta kepada GM agar melarang ada warung di depan jalan masuk ke pabrik. Saya minta warung itu pindah ke dalam pabrik. “ kamu  sediakan tempat di halaman belakang pabrik. Beri dia modal agar menunya bertambah. Jangan ada yang meras pedagang  itu “ Kata saya kepada GM. 


Ketika  keluar dari gerbang pabrik, satpam itu menanti saya dengan golok. Dia paksa mobil saya berhenti. Saya keluar dari  pintu belakang. Di ada di depan kendaraan. Dengan golok terhunus dia berlari ke arah saya. Dengan replek saya  menghindari dari sabetan goloknya. Terdengar orang teriak ketakutan.


“Sabar pak. Kenapa harus begini ? Kata saya tenang.

Dia kembali menyerang dengan golok. Saya menghindar dengan mundur. Tetapi karena mendengar orang teriak ketakutan. Maklum perkelahian dengan golok dan saya tangan kosong. Orang membayangkan akan ada pembantaian. Saya harus cepat mengakhiri niat jahatnya membunuh saya. Saya tidak mau orang lain kepanikan. Sekarang saya tidak akan menghidari serangan. Saya harus lumpuhkan dia. 


Saya berusaha mendekat. Ketika ayunan goloknya kearah kepala saya, saat itu juga tendangan saya mengarah ke lengan bagian dalam. Seketika golok terlepas. Kaki kanan saya mendarat ditanah. Langsung saya sepak dengan keras betisnya. Saya yakin dalam kondisi kuda kuda tidak seimbang , tendangan ke betis itu membuat dia terjatuh kelau bergerak . Benarlah. Dia berusaha hendak membalas, tapi langsung jatuh. Bangkit, jatuh lagi. Saya liat aja dengan tersenyum. 


“ sudah ya pak. “ kata saya. Kemudian ambil golok yang jatuh serahkan kedia. Saya buka dompet saya “ ini uang ambil. “ Kata saya menyerahkan 5 lembar uang pecahan 10 ribu rupiah “ Maafkan saya. Besok jangan lupa ambil pesangon dari kantor” lanjut saya dan berlalu darinya. 


Keesokan nya satpam itu datang ke pabrik dan minta maaf dengan airmata berlinang.. Saya pekerjakan lagi dia. Sejak itu tidak ada lagi keluhan pabrik kehilangan sampah kertas. Tahun 2003 saya bertemu lagi dengan mbak pemilik Warung. Putrinya saya kuliahkan sampai jadi sarjana.


Moral cerita. Kejujuran ada dimana saja. Tetapi keberanian menyampaikan kebenaran dengan jujur harus dihormati. Itulah dasar saya berterimakasih kepada Mbak pemilik warung kopi. 

Tidak ada kesalahan yang tak termaafkan apalagi orang menyampaikan maaf dalam keadaan sesal. Sepahit dan seberat apapun, pintu maaf harus terbuka. Itulah dasar saya menerima kembali satpam yang telah bersalah dan bahkan berniat membunuh saya.


Harta hanya catatan saja

  Saya amprokan dengan teman di Loby hotel saat mau ke cafe “ Ale, clients gua punya rekening offshore di Singapore. Apa lue bisa monetes re...