Wednesday, September 22, 2021

Orang asing di negeri sendiri.

 




Inilah nasip. Ingin kuceritakan kepadamu. Aku ikut PETA dan dilatih oleh Tentara Jepang sebagai petugas intelijent. Setelah Republik berdiri, aku memperoleh beasiswa untuk belajar di Jepang, Di Universitas Waseda. Tidak mudah bisa diterima di Waseda. Orang jepang juga sulit apalagi aku orang dari negeri yang baru merdeka. Tapi niatku ingin ke bumi baru, aku bisa melewati semua test dan akhirnya bisa tamat universitas dengan gemilang. Akupun tidak ingin langsung pulang ke Indonesia yang masih sibuk dengan jargon revolusi. Beberapa tahun aku menetap di Tokyo, menjadi koresponden koran Partai Komunis yang terbit di Jakarta.


Tetapi entah mengapa tahun 1960 aku pulang. Padahal saat itu aku pacar Ayano, gadis Jepang yang sering aku temui di perpustakaan. Pernah aku ajak nonton teater dan dia tidak menolak. Satu saat aku sampaikan cintaku kepadanya. Ayuno bersemu merah. Dia membungkuk sebagai tanda terimakasih. Wanita Jepang sangat tertutup dalam berhubungan. Lebih banyak mendengar daripada menyampaikan pendapatnya. Kadang terkesan dia lebih mementingkan aku saja.  Tapi bagaimanapun Ayano memang cantik dan aku suka. Sama dengan ibuku wanita jawa. Yang lebih pasrah dihadapan suami dan menerima saja.


Lambat laun aku mulai bosan dengan Ayano. Apa arti hubungan bila tidak ada tantangan. Tidak ada yang diperdebatkan. Dipertanyakan. Aku ingin menikah dengan wanita yang bisa menjadi pengkritikku, teman berdebat dan berani mengingatkanku. Itu sebabnya aku putuskan pulang ke tanah air. Itu tahun 1960. Jadi alasanku pulang bukan karena aku rindu Indonesia tetapi melupakan Ayano. Aku rindu Sunarti. Berteman sejak masih sekolah rakyat. Semua hal tentang Sunarti aku suka. Dia putri dari tokoh agama yang moderat. Terpelajar dan jago berdebat. Teman bicara yang asyik. Yang penting Sunarti adalah cinta pertamaku dan wanita yang pertama menerima cintaku.


Benarlah, kedatanganku seperti pangeran yang siap menjemput tuan Putri dari puri Indah. Keluarga Sunarti bersenang hati menerima aku sebagai menantu. Apalagi mereka tahu aku orang terpelajar dan bekerja sebagai wartawan, kepala perwakilan kantor berita PKI.  Mas kawin yang diminta Sunarti adalah pergi ke Makkah. Aku sanggupi dengan akad hutang. Aku bertekad dengan  tangan dan otakku untuk dapatkan uang mentunaikan mas kawinku.


Di Jakarta, aku bekerja  di Media Rakyat, milik partai Komunis. Sebenarnya aku juga melamar ke Koran Abadi milik Masyumi. Tetapi mereka tidak bisa membayarku seperti di Media Rakyat. Padahal aku senang berkumpul dengan teman teman gerakan politik islam. Aku lahir dari keluarga yang taat beragama. Tentu aku senang menyuarakan suara syiar agama lewat media politik. Tetapi lagi lagi karena aku sudah berkomitmen cari uang untuk secepatnya membawa Sunarti ke Makkah. Aku tidak punya pilihan.  Apalagi PKI adalah partai besar urutan 4 di negeri ini. Berada dalam barisan nasional NASAKOM. Banyak kolomnis Media Rakyat akhirnya jadi pejabat sipil dan perusahaan negara. Latar belakang pendidikanku dari Waseda akan sangat mudah meraih puncak karirku. 


Oktober 1965 situasi jakarta mencekam. Banyak kader PKI ditangkap oleh militer.  Aku masih merasa aman saja. Karena aku bukan politisi dan bukan kader PKI. Aku hanya pekerja PERS yang bertugas menyampaikan  berita tentang derita rakyat yang butuh keadilan dari elite kekuasaan. Salahku dimana. Makanya aku tetap di rumah dalam keadaan tidak bekerja. Berharap situasi politik mereda, aku bisa kembali bekerja dimana saja. Mertuaku mulai kawatir karena banyak orang yang bukan kader PKI ditangkap. Mereka tidak mau terseret kasus. Malam itu, Sunarti dijemput oleh ayahnya dari rumahku.


Sejam setelah kepergian Sunarti dan Ayahnya, kemudian, tentara datang ke rumahku. Yang aku heran, tentara datang bersama Ayah Sunarti. Tidak ada sedikitpun dari wajah mertuaku merasa menyesal telah menjadikan aku pesakitan. Saat itu politik sedang tidak menentu. Balas dendam politik menghilangkan akal sehat. Terbukti berkali kali aku katakan bahwa aku bukan  kader partai.  Menantu dari tokoh agama. Namun tentara tidak percaya. Walau aku punya kartu anggota PKI, tetapi itu hanya syarat agar aku bisa bekerja di kantor berita PKI, dan karena itu aku bisa menabung mentunaikan mahar kawinku kepada Sunarti. Mereka tetap tidak percaya.


***

Tiga tahun digelandang dari Salemba, ke Cipinang, ke Tangerang, kemudian digiring ke kapal rusak untuk dikucilkan selama sepuluh tahun di Pulau Buru. Tiga belas tahun yang gulita, aku melewati malam dengan terang bohlam yang redup. Semalaman gelisah. Bukan bohlam itu benar yang membuat aku tak bisa lelap, tetapi hantu tentang sebuah rencana hidup yang terus menumpati otakku. Bagaimana esok, dan keesokan harinya lagi, aku mempertahankan hidup di surga yang bernama dunia bebas ini? 


Di Pulau Buru, aku dan kawan-kawan punta lahan yang kami buka sendiri dengan tangan telanjang. Ya, benar-benar tangan telanjang! Jangankan traktor. Arit pun tak ada. Walau begitu, pulau buangan itu akhirnya bisa berswasembada pangan berkat tangan-tangan kami orang rantai, meskipun yang menikmati adalah tentara yang mengawasi hidup kami dalam pemencilan dan kerja paksa. Yang membuatku tetap semangat bertahan hidup adalah karena janjiku kepada Sunarti. Hutang yang harus kutunaikan. Aku tidak mau mati dalam keadaan mata melotot karena gagal membayar hutang.


Setelah melewati 13 tahun terpanjang dalam hidupku. Kami semua dapat amnesti sebagai tahanan politik.  Setelah melewati laut, kami dibawa dengan truk menuju tangsi militer. Puluhan tahanan politik, diturunkan dari truk dan diperlakukan tidak lebih berharga dari kawanan kerbau dan kambing yang sedang dihalau ke pejagalan. Kasar gerendel pintu bak truk diempaskan, papannya dibiarkan terbanting berdentam, kawir-kawir ke bawah. Untuk hewan saja disediakan titian turun. Tidak buat kami. Serentetan bentakan keluar dari muncung seorang sersan supaya kami buru-buru melompat dan masuk ke pekarangan markas militer itu. 


Aku keluar dari tangsi militer itu setelah melewati upacara pelepasan. Tidak ada yang menjemputku. Di depan gerbang itu aku melihat ada pria mata sipit dan berbadan agak kurus, pendek mendekat kepadaku. Dia menggunakan bahasa jepang. “Apakah anda Suroto?. Katanya memperlihatkan photoku. Aku mengangguk. Dia kemudian memperlihatkan photo dan nama gadis yang tak asing bagiku. “ Ayano. 


“ Dimana dia” kataku dalam bahasa jepang. 


“ Ada di hotel “ Kata pria itu. “ Mari saya antar ke hotel “Lanjutnya. Seperti kerbau ditusuk hidung, aku manggut saja. Apalagi ada di dalam kendaraan mewah untuk ukuranku almuni Pulau Buru. “ Tidak semua orang bisa masu Waseda university. Anda cerdas dan punya bakat sebagai Ekonom, terutama ekonomi ke rakyatan. Ya kan. “ Kata pria itu.


Aku hanya tersenyum. Aku tidak tahu apakah aku pantas disebut ahli ekonomi lulusan universitas terkenal di Jepang. Lebih 10 tahun aku merasa bukan manusia dan tidak berada di bumi manusia. Aku sampah dan debut jalanan. Akupun tidak punya rasa percaya diri untuk bertemu dengan Ayano. Tetapi setidaknya langkah pertamaku setelah dari Pulau Buru adalah bertemu dengan gadis yang pernah jadi kekasihaku dan kutinggalkan tanpa rasa bersalah.


“ Suroto San..” Ayano membungkukan setengah badannya sebagai tanda hormat kepadaku. “ Ayono memperkenalkan   kedua orang tuanya. “ Kami dapat kabar tanggal kebebasan kamu. Sebagai sahabat Ayuno, kami menawarkan jalan untuk masa depanmu. Mari kita ke Tokyo, Kamu bisa ambil Doktor di Waseda dan bekerja di Jepang. Bukankah kamu punya cita cita mengangkat ekonomi petani.” Kata Ayah Ayumo. Aku tahu bahwa keluarga Ayumo adalah keluarga Partai Komunis Jepang (PKJ). PKJ adalah salah satu partai komunis non-berkuasa terbesar di dunia, dengan sekitar 300.000 anggota yang tergabung dalam 20.000 cabang.


“ Kalau takdir memungkinkan, kamulah orang pertama yang akan kutemui.” Kataku kepada Ayuno. Itulah caraku menolak halus. Sebenarnya aku ingin bertemu dengan istriku terlebih dahulu dan mentunaikan tanggung jawabku yang tertunda selama 10 tahun.  Bayanganku tetap kepada janjiku untuk melunasi mahar nikahku kepada Sunarti. 

“ Aku bisa mengerti sikap, anda Soroto San. Pergilah temui istrimu. Yang pasti aku selalu menanti kamu. “ Kata Ayuno nampak berwajah kecewa.


Sore hari aku pergi jalan kaki ke arah bilangan Menteng Dalam rumah Sunarti. Aku tidak akan menumpang makan. Tidak pula menumpang tinggal. Aku hanya akan beritahu Sunarti bahwa aku sudah jadi manusia bebas. Tentu bebas juga melaksanakan tanggung jawabku dengan kedua tanganku sendiri.  Ternyata apa yang kudapati. ? Di rumah aku temui Sunarti sudah jadi istri orang lain.  Pria suaminya sama dengan Aku, sama sama memberikan mahar pergi ke haji. Namun tidak sepertiku yang berhutang. Suami Sunarti membayar tunai. Aku baru sadar aku berada di negeri kapitalis. Semua harus tunai. Tidak seperti sosialis komunis yang membayar dengan janji dan harus diperjuangkan dengan kerja keras mentunaikannya. 


Aku tidak protes.  Begitulah hukum nikah. Sesuai akad nikah lewat 3 bulan berturut turut suami tidak memberikan nafkah lahir batin, talak cerai berlaku otomatis. Sunarti sudah membebaskanku dari hutang dengan menikah lagi. Sama seperti aku dibebaskan dari Pulau Buru. Namun keduanya bukan karena kesalahan yang aku buat. Aku hanya kurang beruntung karena berada pada tempat dan waktu yang salah.


Aku sudah benar benar jadi orang bebas. Setahun setelah itu, aku kirim surat kepada Ayuno bahwa aku siap untuk kembali ke Tokyo. Aku tidak berharap Ayuno akan membalas. Setidaknya aku sudah memenuhi janji kepada Ayuno. Tetapi balasan itu tidak pernah datang. Aku kembali merasa jadi orang merdeka. Masa lalu sudah ada dibelakang. Aku harus move on untuk masa depanku. Sampai ajalku aku tetap jadi sampah kota dan terabaikan oleh hiruk pikuk pembangunan orde baru. Aku tetap najis untuk dibantu atau ditemani. Aku jadi orang asing di negeriku sendiri…semoga kalian paham..

1 comment:

Anonymous said...

😭😭

Siluet kekuasaan dan kemiskinan.

  “ Mengapa kapitalisme disalahkan ? tanya Evina saat meeting di kantor Yuan. Dia CEO pada perusahaan di Singapore. Dia sangaja datang ke J...