Tuesday, September 28, 2021

Dendam tertindas seorang wanita

 






“ Ceritakan kepadaku tentang Madam Mao. “ kataku kepada Wenny ketika dalam perjalan dari Beijing Ke Hong kong.


“Ada apa kamu begitu ingin tahu?


“ Aku banyak membaca buku tentang Madam Mao. Tetapi dari perspektif yang mengarah kebencian kepada dia. Mungkin kamu bisa ceritakan apa yang kamu tahu. Dari perspektif kamu sebagai wanita. “ Kataku.


Wenny terdiam sebentar. “ Baiklah aku ceritakan…


Dia lahir di Shandong. Ibunya seorang selir bangsawan. Seumur hidup dia tidak pernah duduk minum teh bersama ayahnya. Dia hanya mengenal ayahnya yang sering berkunjung untuk meniduri ibunya. Dari usia kanak ayahnya paksa dia melihat ibunya dikangkangi. Setelah puas, ayahnya pergi ke rumah induk. Letaknya beberapa langkah saja. Di situ  ayahnya dan istri resminya serta anak anaknya tinggal. Sementara dia bersama ibunya dan para selir lainnya tinggal di kandang  babi, di  belakang rumah induk. 


Dari kecil sampai ABG, dia dipangil dengan nama Yunhe. Artinya ayam merak diantara ayam kampung. Dari kecil sudah keliatan jiwa memperontaknya. Ia menolak budaya China dimana wanita ujung kakinya harus diikat agar mengecil sehingga tidak bisa pergi jauh. Usia  remaja sudah jadi selir tuan Fei, bangsawan dari Shandong. Namun itu hanya singkat. Setelah selaput daranya hilang, diapun dibuang. Saat itu dia tidak sedih. Itu sudah garis tangan, wanita dari anak selir sama harganya dengan seekor Babi. Apa yang dialami ibunya, juga kini dia rasakan.


Kemudian, dia berkenalan dengan Yu Qi wei, pria cerdas dan ganteng. Yang kemudian menikahinya. Menjadi suami keduanya. Namun pria itu ternyata terlalu banyak mimpi tapi miskin effort. Memang dia mantan selir. Tidak pernah mendapatkan cinta. Namun dia juga tidak ingin hanya dapatkan cinta dari Yu Qi wei dan kelaparan. Ia tidak tertarik dengan pria yang lemah semacam itu. Terlalu pandai mengeluh dan menyalahkan pemerintah. Sementara menghidupi diri sendiri saja tidak mampu. Dia memilih bercerai.


Masa muda bagi wanita sangat singkat. Itu dia sadari. Dari dua kali pernikahan yang gagal itu, dia memutuskan pergi merantau ke Shanghai. Di Shanghai dia berganti nama, lian Ping. Seakan ingin mengubur masalalunya yang buruk di Shandong. Dia berkenalan dengan pria, Tang Nah, yang membantunya menapak karir sebagai artis teater. Tang Nah melamarnya. Mereka menikah. Ini pernikahan ketiga kalinya bagi Lan Ping. Namun dia tidak pernah sukses sebagai artis.


Suaminya selalu bicara tentang moral dan keadilan sosial namun di tempat tidur dia terlalu angkuh. Hanya mementingkan dirinya sendiri. Terlalu terburu buru. Kering dan membosankan. Akhirnya dia memilih bercerai. Bukan karena suaminya tidak mencintainya. Dia hanya tidak ingin menanggung hidup suaminya dari hasil kerja kerasnya dan mengalami kehidupan sex yang buruk.


Setelah bercerai dengan suaminya. Lan Ping mengalami phase hidup dalam titik terendah. Dia mengalami kesendirian, teracuhkan, kehilangan harapan. Para pria dengan berbagai alasan hanya ingin menidurinya. Budaya feodal memang menjadikan wanita sekedar hiburan dan penyalur libido. Dalam keadaan hidup seperti itu, membangkitkan perasaan melawan atas semua ketidak adilan. Musuhnya adalah kaum feodal. Mereka kutu dalam selimut. Mereka harus dihabisi. Demikian tekadnya ketika bergabung dalam gerakan bawah tanah Komunis di Yenan. 


Kecerdasanya berhasil menggaet orang kepercayaan Mao, Kan Sheng. Pria itu kasmaran kepada dia, mengajaknya bertemu Mao Tse tung. Saat bertemu Mao, dia yakin Mao menyukainya. Diapun menjauh dari Kan Sheng. Memang saat kali pertama bertemu dengan Lan Ping, Mao langsung jatuh cinta. Belakangan Mao meninggalkan istrinya untuk menikah dengan Lan Ping. Dia mengubah namanya menjadi Jiang Ching. Dia menyadari bahwa sebagai Pemimpin Mao punya banyak pacar gelap. Bagaimanapun Mao masih hidup dalam budaya tradisional China. Yang percaya bahwa pria harus sering berhubungan sex dengan perawan agar bisa awet muda. Para kaisar tempo dulu juga melakukan hal yang sama. Ada salah satu selir Mao yang juga artis , sampai bunuh diri karena depresi merasa terabaikan oleh Mao.


Jiang Ching sadar bahwa Mao tidak tertarik dengan kecantikannya. Karena masih banyak yang lebih cantik dan muda. Mao tertarik dengan kecerdasan dan kekuatan hatinya. Dengan bakat artis yang dia miliki, dia mampu memainkan peran pendamping Mao yang selalu membuat Mao penuh percaya diri dan bersemangat menghadapi semua tantangan. Saat itulah Jiang Ching tahu bahwa Mao bukanlah pria yang kuat. Mao terlalu melankolis atau sangat dominan menggunakan perasaanya dalam menghadapi persoalan. Makanya Mao mudah sekali terpengaruh dengan orang terdekatnya.


Sebagai Artis, Jiang ching berhasil melaksanakan perannya dengan sangat hebat. Membuat dia sangat dipercaya oleh Mao. Bahkan Mao mengizinkan Jiang Ching ikut dalam rapat Partai. Padahal itu adalah tabu dalam tradisi Partai Komunis. Saat itulah Jiang Ching sadar bahwa dia sudah menguasai Mao. Lambat namun pasti pengaruhnya semakin besar. Akhirnya walau dia belum bisa tampil depan publik namun dia memiliki kekuatan besar untuk mengatur Tiongkok.


Ada hal yang tak pernah hilang dari diri Jiang Ching. Bahwa dia tidak pernah berhenti membenci kaum bangsawan. Mungkin karena masalalunya yang buruk. Seperti ketidak sukaannya terhadap Wang Guang mei, istri dari Liu Shao Qi wakil Mao. Setiap melihat Wang Guang mei tampil di publik, itu seperti mengejeknya. Bukan hanya kepada Wang Guang mei , dia juga tidak suka kepada Deng Yen Chao, istri dari Zhou En Lai, Perdana Menteri China. Hanya saja, Deng Yen Chao berusaha merebut hati Jiang Ching. Sehingga Jiang Ching bisa menerima walau tetap tidak suka. Semetara Jiang Ching sendiri tidak boleh tampil di publik. Karena belum resmi sebagai istri sah Mao.


Ketidak sukaan Jiang Ching dengan elite Partai Komunis, yang juga sahabat dan bawahan Mao, melahirkan intrik dan faksi. Mao tahu itu. Mao tidak ingin meredam munculnya faksi. Mao hanya diam. Mao menganggap bahwa pertikaian yang terjadi pada bawahannya itu digunakan untuk memperkuat dirinya, sehingga Mao secara diam diam juga mendukung bawahannya yang saling menyerang.


Jiang Ching bersekutu dengan chun Qiao, seorang penulis dan editor Shanghai Wenhui , bahkan bersamanya, Jiang Ching membentuk kelompok empat, dimana dua diantaranya merupakan murid Chun Qiao. Belakangan kelompok empat ini sangat berkuasa dan ditakuti oleh lawan politik. Deng Zao Ping adalah korban dari kelompok empat ini. Deng diasingkan ke Yunan.


Pada suatu acara makan malam antara pasangan suami istri Lin Biao, Zhou En Lai , Mao Ze Dong dan Jiang ching. Mao seperti sedang memuji muji keluarga Lin Biao. Saat itu Lin Biao. merasa sangat bangga dengan pujian Mao. Tidak ada suatu firasat buruk akan terjadi. Namun setelah selesai makan malam, mereka dibantai dalam perjalanan pulang ke rumah. Katanya perintah Mao, tetapi sebetulnya ini perintah dari Jing Ching. Alasannya diduga akan melakukan kudeta. Media massa menceritakan kematian itu sebagai sebuah peristiwa kecelakaan pesawat. Mao hanya diam saja. Seakan tidak peduli.


Jiang Ching tersenyum kemenangan dengan sikap Mao itu. Dia berada di sisi Mao dan berbuat untuk itu. Itu sinyal dia dapat restu untuk membunuh lebih banyak lagi. Diapun ciptakan kekacauan di seluruh China. Bagi Jiang Ching, sasaran dari revolusi kebudayaan adalah sebuah surga. Dia sangat paham bahwa “revolusi adalah di mana satu kelas menggulingkan kelas lainnya dengan menggunakan kekerasan. “ Targetnya adalah menghabisi kelas feodal.


Jiang Ching bukan hanya membantai kaum feodal tuan tanah dan pemburu rente tetapi juga segala simbol feodalisme seperti buku berasal dari asing dia bakar, tempat ibadah dia tutup, kitab suci dia bakar. Para patron atau tokoh masyarakat, kaum terpelajar, dia giring ke kamp kerja paksa. Bekerja di pusat pertanian dan industri. Selama revolusi kebudayaan, China diliputi kegelapan. Itu berakhir tahun 1975 setelah Mao wafat dan kelak kemudian digantikan oleh Deng Xio Ping. Jiang Ching dengan kelompok empatnya ditahan. Tapi tidak pernah diadili. Dia tidak pernah mau mengaku bersalah. Dia terlalu kuat untuk dikalahkan.


“ Ibu bukan seorang Pahlawan ! Putrinya berteriak ketika menemuinya di rumah tahanan. Dia merasakan siksaan pendih. Lebih sakit dari jutaan peluru menghantam dadanya ” Ibu adalah wanita yang malang, sakit dan gila. Ibu menggali begitu banyak liang kubur namun tetap tidak cukup untuk mereka yang jadi korbanmu.” lanjut putrinya.


“Mengapa Nak kamu berpikir seperti itu ?


“Ayah mengatakan kepadaku.”


“Kamu tidak tahu bahwa Ayahmu terlalu lemah bersikap kepada musuhnya dan ayahmu mendapatkan kekuatan dari diriku. Aku membunuh untuk mimpi Ayahmu, untuk china tentunya. Kamu tidak melihat fakta nak. Kini 90% rakyat melek baca. Mereka tidak bisa lagi dibodohi oleh siapapun. China bisa swasembada pangan, Kalau rakyat kenyang. Mereka akan mampu memerdekakan dirinya sendiri untuk memperjuangkan keadilan ekonomi dan sosial. Paham kamu nak.” Katanya dengan linangan airmata.


“ Tetap saja ibu tega membunuh 25 juta orang. Ibu mosterr. Gila!”


“ Masalah bangsa kita nak, adalah penjajahan feodalisme. Kaum bangsawan. Selagi mereka tidak dimusnahkan, China tidak akan pernah bisa menghilangkan perbudakan atas nama kekuasaan. Rakyat akan terus miskin dan dibodohkan. Masa depan china akan kelam. Hanya berpindah dari jajahan asing ke bangsa sendiri.”


“ Aku benci Ibu “ Kata putrinya berteriak.


“ Kau tidak dapat mengingkari ibumu. Aku yang melahirkanmu dengan susah payah. “ Katanya dengan penuh harap agar putrinya mengerti. Tetapi putrinya tidak bisa menerima alasannya. Pergi dari hadapanya dengan membawa kebencian.


Jiang Ching pun sadar bahwa seluruh harapannya telah lenyap. Batas akhir dari sisa kekuatannya bertahan hidup telah sirna. Putrinya tidak menghargainya. Hal yang sangat menyedihkan adalah “ Putriku telah membuatku lemah. Dia telah membunuhku tanpa memberi kesempatan bagiku untuk mengatakan bahwa Ayahnya tak pernah sesungguhnya mencintai ibunya. Ayahnya hanya mencintai China dan kekuasaan. Aku hanyalah wanita malang , seorang artist teater yang berusaha untuk menjadi ayam merak diatara ayam kampong. Tapi tidak pernah berhasil. “ katanya lirih dalam kesepian dibalik jeruji besi.


Keesokan paginya tanggal 14 Mei 1991, Jiang Ching membeku karena gantung diri. Bunuh diri bukan karena alasan kehilangan kebebasannya, tetapi kehilangan cinta dari putrinya. Suaminya berhasil meracuni putrinya untuk membencinya. Dia korban politik. Tapi Karenanya, China mendapatkan jalan bersih tanpa duri. Deng mulai membangun peradaban China baru. Baru dalam segala hal. Restore system telah dilakukan Mao. China kini menjadi kekuatan ekonomi dunia.” Akhir cerita Wanny.


“ Malang sekali nasip Jiang Ching.” kataku


“ Itulah harga dari sebuah perubahan. Tanpa itu China akan tetap seperti korea utara dan negara lain yang menjadikan agama dan idiologi sebagai Tuhan untuk menjajah dan memperbodoh. Pria china kini seperti kamu. Walau boss namun tetap menghormati wanita. Penuh kehangatan dan selalu ada disaat tersulit bagi wanita.." Kata wenny tersenyum. Saya genggam jemarinya. Dia merebahkan kepalanya dipundakku dan setelah itu tertidur


Saturday, September 25, 2021

Lumpur kesengsaraan.


 

Aku terjatuh. Batu kapur yang ada di pikulanku juga terjatuh. Sementara tubuhku berguling guling menuruni tebing. Tidak ada yang memar pada tubuhku. Karena memang tempat pijakanku tanah becek yang habis disirah hujan. Namun kaki dan bahuku lecet walau tak berdarah. Ini cukup membuat aku meringis. Sementara teman temanku yang melihat kejadiaan itu tertawa terpingkal pingkal. Hidup memang ironi. Kadang penderitaanpun layak jadi ketawaan.


“ Makanya , pikiran kamu jangan kerumah terus. Engga usah dipikirin rumah. Kita disini kerja aja. “ Kata temanku sambil berteriak. “ Dan lagi apa yang mau dipikirin , wong kerja sekeras apapun, tetap aja tidak cukup untuk makan sehari. “ Kata temanku yang lain. Mereka mengetahui bahwa aku sedang dirudung masalah keuangan. Istriku sedang hamil tua dan aku bingung mendapatkan uang untuk membawa istri kerumah sakit atau kebidan atau kedukun.


Tapi sebetulnya bukan itu yang kupikirkan. Aku sedang bingung mendapatkan uang untuk rencananya pergi menjadi TKI. “ Wah…mahal sekali biayanya !” Kataku mengerutkan kening, ketika mengetahui biaya yang harus disediakan untuk mengurus keperluaan berangkat ke luar negeri sebagai TKI. “ Darimana aku mendapatkan uang sebanyak itu,?.Tanyaku kepada teman.


***

Waktu istirahat kerja aku hanya makan ubi rebus. Aku melamun. Memikirkan tentang hidupku. Terlahir dari keluarga miskin. Tahun 1959. Namun kemudian organisasi Tani sayap kiri merampas tanah tuan tanah, Kemudian ayahku dapat kebagian tanah itu 1 hektar. Bukan hanya ayahku, tapi ada ratusan kuli tani dapat tanah gratis dari organisasi tani. Karena itu kehidupan berubah. Ayahku tidak lagi bekerja di lahan orang tetapi di lahan sendiri. Itulah kemerdekaan yang seharusnya setiap orang bekerja diatas lahannya sendiri.


Namun terjadi pergolakan politik paska 1965. Ayahku bersama ratusan petani yang dapat tanah dari Organisasi tani ditangkap. Sementara pimpinan Organisasi Tani dikirim ke Pulau Buru. Maklum mereka itu bukan orang biasa. Mereka adalah guru, tokoh masyarakat dan orang cerdik pandai. Sementara Ayahku dan kawan kawan dibawa ke pinggir laut oleh Tentara. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengah ayahku. Yang aku tahu, pagi hari orang kampung geger. Karena disuruh gotong royong menyeret  ratusan mayat yang bergelimpangan ke dalam lubang. Saat itu aku meraung. Ibuku hanya terdiam menahan getir ketika melihat salah satu mayat yang diseret itu adalah ayahku. 


Satu saat ibuku dijemput tentara. Setelah itu tidak pernah kembai lagi. Usia 6 tahun, Pamanku yang mantri guru membawaku dari jawa  ke Sumatera. Usia 12 tahun paman meninggal. Tetanggaku mengajakku bekerja sebagai anak bagan. Berada di tengah laut dalam kesendirian dan kerja keras sepanjang musim.  Usia 16 tahun aku pindah kerja di darat. Pekerjaan yang kudapat adalah sebagai buruh di perkebunan milik negara.  


Dua tahun bekerja di perkebunan, aku berkenalan dengan Sumiati yang bekerja sebagai anak bedeng. Sebenarnya anak bedeng kata lain dari pelacur. Aku mencintai Sumiati dan ingin membahagiakannya. Akupun menikahinya. Usia kami bertaut 4 tahun. Sum lebih tua dariku. Akupun  pindah ke Lampung, dekat dengan keluarga Sumiati. Aku ingin memulai kehidupan sebagai keluarga kecil. Aku bekerja sebagai buruh di tambang kapur milik pak Haji, yang juga tokoh masyarakat. Setiap tahun pak Haji pergi ke makkah, sementara kami buruhnya tidak pernah dinaikan upah.


*** 

Pikiranku selalu kepada Bejo. Lima tahun lalu Bejo pergi ke luar negeri menjadi TKI dan sekarang kehidupan keluarganya telah berubah. Rumahnya sudah berdinding beton. Televisipun sudah menyala di rumah. Istrinya sudah pula mengendari motor sendiri dan tidak perlu berjalan kaki kepasar. Anak anaknya juga dapat bersekolah dengan pakaian bagus. Sementara aku masih terjepit dengan kesulitan hidup dan tidak pernah dapat merasakan makan cukup setiap harinya. Berganti tahun, tidak ada kemajuan , kecuali anak yang dilahirkan terus bertambah.


Aku kadang mendengar cerita tentang penderitaan para TKI di negeri jiran itu dari teman temanku. Bekas guratan pecutan di punggung dari para TKI yang baru datang menjadi cerita seram bagi siapa saja yang ingin mencoba merubah nasip di negeri orang. “ Hidup di negeri sendiri jauh lebih enak. Makan ora makan yang penting kumpul. “ Demikian temanku yang lain mengomentari penderitaan para TKI diluar negeri. Tapi bagiku ,masalahnya adalah ora makan ya mati !. 


Semua orang di negeri ini senang dengan dirinya sendiri. Yang miskin , semakin miskin dan yang kaya semakin kaya. Seperti halnya Pak Haji pemilik tambang kapur itu , andai dapat menghentikan kebiasaan pergi haji tiap tahun dan membagikan uang pergi haji itu untuk menaikkan penghasilan buruhnya tentu akan sangat berarti bagi buruhnya. Tapi , kenyataanya Pak haji lebih doyan jalan jalan ke mekkah daripada berbagi.


Aku memikirkan nasipku dan tentu juga nasip masa depan anak anakku. Anakku yang tertua sudah berangkat menjadi wanita belia. 17 tahun usianya. Yang nomor dua juga wanita, berumur 14 tahun. Yang terakhir sekarang masih dalam kandungan istriku. Inilah yang menyesakkan hatiku. Ada pria dari kota berjanji akan membantu mengurus segala sesuatunya untuk aku dapat bekerja sebagai TKI. Syaratnya ya , aku harus rela menyerahkan anak gadisku dibawa oleh pria itu. Aku menolak. Aku tahu bahwa cerita duka para wanita yang bekerja di kota di negeri ini jauh lebih seram dibandingkan cerita duka para TKI diluar negeri.


Hari telah berangkat sore. Ditanganku ,tergenggam uang Rp. 30,000 sebagai upah kerja kerasku seharian menjadi kuli penambang batu kapur. Setelah dipotong ongkos ojek dan angkutan umum maka yang tersisa sampai dirumah hanyalah Rp. 20,000. Itupun kalau aku  tidak makan siang. Bila aku harus makan siang maka yang tersisa hanyalah Rp. 15.000. Agar dapat menghemat uang, akupun terpaksa pulang seminggu sekali dan makan sekali sehari. 


Kemana harapan akan dijemput untuk masa depan keluargaku? Ya bila malam datang ,  selalu ada agent togel yang datang kebarak. Tapi aku memilih tidak mengadu nasip lewat kupon togel. Mungkin aku termasuk orang yang pengecut menghadapi ketidak pastian walau harapan besar. Beda dengan teman temanku ,yang tidak peduli dengan resiko kalah. Bagi mereka selagi ada harapan maka togel adalah hiburan tersendiri. Setidaknya mereka masih dapat hidup dalam harapan untuk besok dan besok. Walau besok tidak pernah datang.


Ini akhir minggu. Jadwalku harus kembali ke rumah. Ditangaku ada uang tidak lebih Rp. 150,000 dan tentu setelah dipotong ongkos maka akan sampai di tangan istri tidak lebih Rp. 125,000. Itulah uang yang harus dihemat istriku untuk makan selama seminggu lagi. Terlalu sulit dikatakan cukup dan terlalu jauh disebut manusiawi. Tapi itulah nasip yang harus ditanggungnya. 


Aku harus berbuat sesuatu untuk merubah nasipku. Bayangan tentang keberhasilan Bejo sebagai TKI telah membakar semangatku bahwa saatnya aku harus hijrah mencari ruang yang bisa membayarku dengan manusiawi. Tapi, membayangkan nasip anak gadisku , akupun menjadi ngeri.


Ketika aku sampai di rumah, kudapati istri sedang terduduk muram dibale bale. Nampak mata istriku sembab oleh airmata.


“ Apa yang terjadi , Sum ? “ Kataku lembut.


Sumiati langsung menghambur memeluknya“ Maafkan aku, Mas..Murni sudah pergi kemarin.” Kata istriku


“ Pergi kemana ? “ Aku terkejut dan terus berlari keluar kamar dan berteriak teriak memanggil nama anak gadisku.


“ Mbak Mur, sudah pergi ..” Anak gadisku yang nomor dua menatap kosong kearahku. Aku terduduk lemas.


“ Mas, Dia sendiri yang maksa untuk ikut kerja kekota. Aku sudah berusaha melarangnya tapi dia tetap maksa…” aku melirik kearah istriku. “ Ini ada surat dari Murni. “ Lanjut istriku sambil menyerahkan surat itu.


Ayah..Kita miskin. Setiap hari aku melihat kita selalu kekurangan. Adik sudah lama berhenti sekolah dan nasipnya tidak lebih sama dengan aku. Kelak , sebentar lagi adik akan lahir lagi. Tentu nasipnya akan sama dengan kami. Tidak ada pendidikan, kurang gizi dan tidak ada masa depan. Kita tidak punya apa apa lagi untuk kita jual agar memberikan kesempatan bagi Ayah dapat hijrah bekerja di tanah Jiran. 


Pergilah , Ayah…kita sekarang sudah punya cukup uang. Pak Darto memberikan uang kepada Ibu. Aku rasa itu cukup untuk mengurus segala sesuatunya yang Ayah perlukan untuk menjadi TKI.


Ayah..Kalau ayah sudah berhasil di tanah Jiran, kirimilah kami uang agar kita bisa membayar hutang kepada Pak Darto. Aku ingin di kampung menemani Ibu dan mendidik adik adiku. Maafkan aku Ayah bila lancang berbuat tanpa restu ayah. Namun itulah mungkin yang bisa aku lakukan untuk Ayah, untuk keluarga kita. Aku akan baik baik saja. Doakan Aku ya Ayah…


Aku tak bisa menahan tangis. Terlalu mahal harga yang harus aku bayar, hanya karena ingin dihargai sebagai manusia di negeriku sendiri dan mendapatkan bayaran dari tenagaku di negeri orang. Aku hanya dapat berdoa , semoga Murni akan baik baik saja. Besok, ya tentu besok, Istriku akan melepasku pergi ke tanah Jiran untuk menjadi kuli di negeri orang dan sementara anak gadisku sudah lebih dulu pergi ke kota untuk menjadi pelacur di negerinya sendiri.


***

"Kita benamkan mereka ke dalam lumpur kesengsaraan, sampai ke batang lehernya. Pemerasan kepada orang yang tidak punya apa-apa selain tenaga.” Brooshoft, De Etische Koers in de Koloniale Politiek" hal. 65). Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, jumlah penduduk miskin dengan pengeluaran kurang dari Rp. 500.000 perbulan pada Maret 2021 mencapai 27,54 juta orang.



Friday, September 24, 2021

Dendam karena cinta.

 




“ Ale, saya udah cerai dengan istri bulan lalu “ Kata Ali. Saya senyum aja.  Mengapa? itu istri yang ke 7. Waktu pernikahan pertama, saya ikut sedih. Temannya semua ikut prihatin dengan nasipnya. Apalagi dia sudah punya anak 1, perempuan. Kami memberi semangat kepada Ali agar menikah lagi. Selalu ada harapan untuk kedua. 


Tak berapa lama dia menikah lagi. Gadis cantik dari pontianak. Tak lebih 1 tahun dia  bercerai. Kami mulai berpikir. Ada yang salah pada Ali. Tetapi kami tidak nampakan kecurigaan itu. Tetap berharap dia bisa move on, apalagi perceraian kedua ini tanpa anak. Setelah itu, dalam rentang 15 tahun Ali menikah, bercerai, dan menikah, bercerai. Sampai 7 kali.


***


Ali saya kenal tahun 90an. Dia terlahir dari keluarga kaya raya. Walau dia etnis Tionghoa, tetapi ayahnya dapat bintang Grilya dari Pemerintah. Karena pernah ikut berjuang melawan Belanda. Peran ayahnya sebagai pamasok logistik bagi tentara. Setelah tahun 1956, mereka pindah dari Medan ke Jakarta. Berkat koneksi kuat di TNI, ayahnya dapat fasilitas impor komoditas. Dari situlah keluarga Ali jadi kaya.


Era Soeharto, usaha ayahnya semakin cepat berkembang. Maklum hampir semua ring kekuasaan Pak Harto , adalah TNI dan pejuang yang dikenal baik oleh ayahnya. Berkat koneksi kepada kekuasaan, tidak sulit bagi ayahnya mengembangkan usah ke beragam bidang.  Tahun 1985, Ayahnya meninggal. Ali saat itu masih berusia 35 tahun. Dia tidak menyangka ayahnya  berpulang begitu cepat. Selama ini dia tidak pernah mau terlibat dalam bisnis ayahnya. Itu karena kesibukannya dengan kehidupan glamour. Saat itu siap tidak siap, sebagai anak tertua,  dia harus tampil sebagai kepala keluarga.


Setelah ayahnya meninggal, Ali tidak juga berubah kelakuannya. Dia serahkan semua pengelolaan bisnis kepada profesional, dan itu kebanyakan adalah teman temannya sendiri. Fungsi pengawasan dia percayakan kepada sepupunya. Dia sendiri sibuk dengan  pergaulan jetset.  Saya berkali kali ingatkan dia untuk focus kepada bisnisnya. Dia hanya senyum saja. Tapi secara pribadi dia orang baik. Saya pernah dapat pinjaman modal dari dia. Ketika saya lunasi, dia sendiri lupa bahwa saya pernah pinjam uang kedia. 


Tahun 1998 satu adik perempuannya meninggal karena chaos Mei 1998. Tiga orang adiknya dia ungsikan ke AS. Semua asset keluarga dia jual. Dia sendiri tinggal di Jakarta, tidak ikut ke AS. Tapi dia sempat menikah lagi dengan gadis philipina. Itu pernikahan ke 7 nya. Dan akhirnya hanya setahun  bercerai.  Karena kesibukan setelah tahun 2000 saya sudah jarang ketemu dia. Apalagi tahun 2004 saya hijrah ke China.


***


Ali punya anak perempuan. Namanya Heni. Itu hasil perkawinan dia yang pertama. Setelah bercerai, Anak perempuannya tinggal dengan Lona, mantan istrinya. Tahun 1996 saya meliat dengan mata kepala Ali mengusir Lona karena minta uang untuk biaya sekolah Heni. Saya sempat terkejut. Karena pertengkaran itu dilakukan depan  Heni yang masih remaja. Saya bisa maklum kamarahan Ali lebih kepada dendam. Perceraian terjadi karena Lona terbukti selingkuh. 


“ Saya engga yakin itu anak saya.” Kata Ali. “ Engga ada miripnya dengan saya.” Lanjutnya. Wajah Heni memang mirip sekali dengan Lona.  


Saya menemui Lona, saya berjanji akan biayai sekolah Heni, yang berencana melanjutkan ke Singapore. Waktu itu saya berpikir sederhana. Ali pernah bantu modal untuk saya bisnis tanpa  bunga dan tanpa collateral. Kalaulah bukan nilai persahabatan engga mungkin dia percaya kepada saya. Saya tidak mendukung sikap Ali yang salah, tetapi sebagai sahabatnya saya harus ambil bagian mengkoreksinya tanpa menyudutkan dia. Itu sebanya bantuan biaya pendidikan Heni tidak pernah saya ceritakan kepada Ali. Biarlah waktu yang nanti bercerita.


Dua tahun di Singapore, Heni dapat jodoh. Pacarnya adalah putra dari pengusaha pabrikan di Indonesia. Mereka menikah tanpa dihadiri Ali. Saat itu saya hadir di undang oleh Lona. 


Setelah itu saya kabarkan kepada Ali bahwa Heni sudah menikah.“ Saya ceraikan Lona bukan karena rumor. Saya pergoki dia di kamar hotel di Hong kong bersama pria lain. Bukan rumor dia selingkuh. “ Kata Ali, dengan wajah dingin. Masih dendam dia. Masih ragu dia bahwa Heni anak kandungnya.


“ Setelah itu saya menikah 6 kali, itu bukan cinta. Itu hanya sekedar memperlihatkan kepada Lona bahwa bukan dia saja wanita cantik.” Lanjut Ali. Dari sikapnya saya tahu  bahwa Lona adalah cinta pertama Ali dan wajar kalau dia sulit berdamai dengan kenyataan atas perselingkuhan Lona. Saya bisa maklum.


***

Tahun 2008 saya dapat telp  dari teman. “ Kamu masih ingat kan dengan Ali teman lama kita? 

“ Tentu kenal.”

“ Sebaiknya kamu temui dia, Kasihan. Dia tinggal di rusun Penjaringan. Usianya sudah kepala 6. Tinggal sendirian tampa anak dan tampa teman.” 

“ Bukankah uangnya banyak hasil penjualan aset tahun 1998.” Kata saya.

“ Uang itu habis untuk ongkosi adiknya di Amerika, Semua mereka hidup glamour, Sama aja dengan dia. Ya berapapun uang kalau tidak pernah ditambah, diambil terus ya habis lah.”


***


Tahun 2008, pagi pagi saya datang ke Pantai Mutiara ke rumah Heni. “ Eh om, Ale, Apa kabar” Kata Heni menerima saya di ruang tamu. “ Dengar kabar sekarang bisnis di Hong Kong ya.” Katanya.

Tak berapa lama ada ABG cantik masuk ke ruang tamu. “ Ini loh om  yang sering mama ceritain ke kamu.” Katanya kepada ABG itu. Saya tersenyum. Wajahnya ada mirip Ali. Ah ini dia. Saya tidak salah dengan sikap saya.  Ternyata benar Ali salah dengan sikapnya. 


“ Mirip kakeknya ya. “ Kata saya spontan.


“ Ya semua teman teman kakeknya cerita begitu.” Kata Heni. Tak berapa lama wajahnya mendung. “ Mama larang aku ketemu papa”


“ Mama dimana sekarang ?


“ Ada di lantai atas, Yuk kita keatas ketemu mama. Udah lebih 10 tahun ya engga ketemu. Suprise pasti nih. “ Kata Heni tersenyum. Benarlah, ketika pintu kamar terbuka. Lona terkejut melihat kedatanganku. “Ale, kamu!! serunya. Dia menghambur dalam pelukanku. “ Kok kamu putihan sekarang, Ale?  “ Katanya menatap wajah saya lama.


“ Kelamaan di China mah..” Kata Heni. Setelah acara kangenan selesai, saya mulai bicara soal misi saya datang. Saya ceritakan keadaan Ali yang tinggal sendiri dan miskin. 


“Ale, saya tidak akan pernah lupa diusir dia dan dimaki maki dia.  Saya salah dan itu sudah saya tebus dengan perceraian. Berat sekali. Tetapi dia tidak mengakui Heni sebagai anaknya, itu saya engga terima. “ Kata Lona dengan nada emosi.


“ Lona, Ali itu hanya emosi sesaat. Dia akui Heni sebagai anaknya. Butkinya biaya pendidikan Heni di Singapore, itu dari dia.”


“ Bukannya kamu yang biayai ?


“ Bukan, itu uang dari Ali. “ Kataku tersenyum. 


Lona terdiam. Tak berapa lama dia menangis. “ Mengapa Ali tidak terus terang Ale? 


“ Butuh waktu untuk membunuh ego,. Semua ada prosesnya sampai kepada kesadaran diri. Tetapi hubungan anak dan ayah itu ikat batin yang tak bisa dipisahkan oleh apapun. “Kata saya. 


***

Sore hari saya datang ke rusun penjarangin. Ali senang dengan kehadiran saya. “ Seharusnya kamu sering tengok saya. Kan saya kakak kamu. “ Katanya.


“ Saya banyak di luar negeri, Koh.” saya merangkul dia.


“ Heni udah punya anak. Cantik lagi. “ Katanya dan wajahnya mendung. “ Saya tahu itu dari Awi. Dia perlihatkan photo. Mirip gua , Le..” 


Saya diam saja. Terus perhatikan wajah tuanya yang nampak menderita. Saya juga ceritakan kedatangan saya ke rumah Heni dan bertemu dengan Lona. “ Jadi kamu yang biayai Heni kuliah di Singapore“ 


“ Ya. “


Ali kembali memeluk saya. " Kamu bukan hanya sahabat tetapi juga sudah menjadi keluarga saya. Sementara banyak sahabat pergi dan melupakan saya setelah saya jatuh miskin. Padahal tadinya mereka banyak saya tolong.” Kata Ali. 


“ Saya ingin peluk cucu saya. Sekali aja Ale, . “  Lanjutnya 


“ Koh Ali, kita pergi keluar, ya. Cari makan enak.” Kata saya.  ALi senang. Saat itu juga saya SMS Heni untuk ketemu di restoran Akha di Majapahit. Sedang asik makan, Heni, Lona dan anaknya datang. Ali terkejut ketika melihat Lona.


“ Maafkan saya Lona, maafkan saya. Heni, maafkan papa yaa” Ali berlutut di hadapan Lona dan Heni dengan airmata berlinang  Heni langsung memeluk papanya. “ Lina, kemari sayang, peluk kakek kamu. “ kata Heni kepada putrinya yang nampak bengong. Hari itu mereka berempat saling berpelukan dalam haru. Saya ikut terharu. Saat itu saya merasa sangat bahagia.***


Source “ MyDiary.

Disclaimer : Nama dan tempat fiksi belaka.

Wednesday, September 22, 2021

Orang asing di negeri sendiri.

 




Inilah nasip. Ingin kuceritakan kepadamu. Aku ikut PETA dan dilatih oleh Tentara Jepang sebagai petugas intelijent. Setelah Republik berdiri, aku memperoleh beasiswa untuk belajar di Jepang, Di Universitas Waseda. Tidak mudah bisa diterima di Waseda. Orang jepang juga sulit apalagi aku orang dari negeri yang baru merdeka. Tapi niatku ingin ke bumi baru, aku bisa melewati semua test dan akhirnya bisa tamat universitas dengan gemilang. Akupun tidak ingin langsung pulang ke Indonesia yang masih sibuk dengan jargon revolusi. Beberapa tahun aku menetap di Tokyo, menjadi koresponden koran Partai Komunis yang terbit di Jakarta.


Tetapi entah mengapa tahun 1960 aku pulang. Padahal saat itu aku pacar Ayano, gadis Jepang yang sering aku temui di perpustakaan. Pernah aku ajak nonton teater dan dia tidak menolak. Satu saat aku sampaikan cintaku kepadanya. Ayuno bersemu merah. Dia membungkuk sebagai tanda terimakasih. Wanita Jepang sangat tertutup dalam berhubungan. Lebih banyak mendengar daripada menyampaikan pendapatnya. Kadang terkesan dia lebih mementingkan aku saja.  Tapi bagaimanapun Ayano memang cantik dan aku suka. Sama dengan ibuku wanita jawa. Yang lebih pasrah dihadapan suami dan menerima saja.


Lambat laun aku mulai bosan dengan Ayano. Apa arti hubungan bila tidak ada tantangan. Tidak ada yang diperdebatkan. Dipertanyakan. Aku ingin menikah dengan wanita yang bisa menjadi pengkritikku, teman berdebat dan berani mengingatkanku. Itu sebabnya aku putuskan pulang ke tanah air. Itu tahun 1960. Jadi alasanku pulang bukan karena aku rindu Indonesia tetapi melupakan Ayano. Aku rindu Sunarti. Berteman sejak masih sekolah rakyat. Semua hal tentang Sunarti aku suka. Dia putri dari tokoh agama yang moderat. Terpelajar dan jago berdebat. Teman bicara yang asyik. Yang penting Sunarti adalah cinta pertamaku dan wanita yang pertama menerima cintaku.


Benarlah, kedatanganku seperti pangeran yang siap menjemput tuan Putri dari puri Indah. Keluarga Sunarti bersenang hati menerima aku sebagai menantu. Apalagi mereka tahu aku orang terpelajar dan bekerja sebagai wartawan, kepala perwakilan kantor berita PKI.  Mas kawin yang diminta Sunarti adalah pergi ke Makkah. Aku sanggupi dengan akad hutang. Aku bertekad dengan  tangan dan otakku untuk dapatkan uang mentunaikan mas kawinku.


Di Jakarta, aku bekerja  di Media Rakyat, milik partai Komunis. Sebenarnya aku juga melamar ke Koran Abadi milik Masyumi. Tetapi mereka tidak bisa membayarku seperti di Media Rakyat. Padahal aku senang berkumpul dengan teman teman gerakan politik islam. Aku lahir dari keluarga yang taat beragama. Tentu aku senang menyuarakan suara syiar agama lewat media politik. Tetapi lagi lagi karena aku sudah berkomitmen cari uang untuk secepatnya membawa Sunarti ke Makkah. Aku tidak punya pilihan.  Apalagi PKI adalah partai besar urutan 4 di negeri ini. Berada dalam barisan nasional NASAKOM. Banyak kolomnis Media Rakyat akhirnya jadi pejabat sipil dan perusahaan negara. Latar belakang pendidikanku dari Waseda akan sangat mudah meraih puncak karirku. 


Oktober 1965 situasi jakarta mencekam. Banyak kader PKI ditangkap oleh militer.  Aku masih merasa aman saja. Karena aku bukan politisi dan bukan kader PKI. Aku hanya pekerja PERS yang bertugas menyampaikan  berita tentang derita rakyat yang butuh keadilan dari elite kekuasaan. Salahku dimana. Makanya aku tetap di rumah dalam keadaan tidak bekerja. Berharap situasi politik mereda, aku bisa kembali bekerja dimana saja. Mertuaku mulai kawatir karena banyak orang yang bukan kader PKI ditangkap. Mereka tidak mau terseret kasus. Malam itu, Sunarti dijemput oleh ayahnya dari rumahku.


Sejam setelah kepergian Sunarti dan Ayahnya, kemudian, tentara datang ke rumahku. Yang aku heran, tentara datang bersama Ayah Sunarti. Tidak ada sedikitpun dari wajah mertuaku merasa menyesal telah menjadikan aku pesakitan. Saat itu politik sedang tidak menentu. Balas dendam politik menghilangkan akal sehat. Terbukti berkali kali aku katakan bahwa aku bukan  kader partai.  Menantu dari tokoh agama. Namun tentara tidak percaya. Walau aku punya kartu anggota PKI, tetapi itu hanya syarat agar aku bisa bekerja di kantor berita PKI, dan karena itu aku bisa menabung mentunaikan mahar kawinku kepada Sunarti. Mereka tetap tidak percaya.


***

Tiga tahun digelandang dari Salemba, ke Cipinang, ke Tangerang, kemudian digiring ke kapal rusak untuk dikucilkan selama sepuluh tahun di Pulau Buru. Tiga belas tahun yang gulita, aku melewati malam dengan terang bohlam yang redup. Semalaman gelisah. Bukan bohlam itu benar yang membuat aku tak bisa lelap, tetapi hantu tentang sebuah rencana hidup yang terus menumpati otakku. Bagaimana esok, dan keesokan harinya lagi, aku mempertahankan hidup di surga yang bernama dunia bebas ini? 


Di Pulau Buru, aku dan kawan-kawan punta lahan yang kami buka sendiri dengan tangan telanjang. Ya, benar-benar tangan telanjang! Jangankan traktor. Arit pun tak ada. Walau begitu, pulau buangan itu akhirnya bisa berswasembada pangan berkat tangan-tangan kami orang rantai, meskipun yang menikmati adalah tentara yang mengawasi hidup kami dalam pemencilan dan kerja paksa. Yang membuatku tetap semangat bertahan hidup adalah karena janjiku kepada Sunarti. Hutang yang harus kutunaikan. Aku tidak mau mati dalam keadaan mata melotot karena gagal membayar hutang.


Setelah melewati 13 tahun terpanjang dalam hidupku. Kami semua dapat amnesti sebagai tahanan politik.  Setelah melewati laut, kami dibawa dengan truk menuju tangsi militer. Puluhan tahanan politik, diturunkan dari truk dan diperlakukan tidak lebih berharga dari kawanan kerbau dan kambing yang sedang dihalau ke pejagalan. Kasar gerendel pintu bak truk diempaskan, papannya dibiarkan terbanting berdentam, kawir-kawir ke bawah. Untuk hewan saja disediakan titian turun. Tidak buat kami. Serentetan bentakan keluar dari muncung seorang sersan supaya kami buru-buru melompat dan masuk ke pekarangan markas militer itu. 


Aku keluar dari tangsi militer itu setelah melewati upacara pelepasan. Tidak ada yang menjemputku. Di depan gerbang itu aku melihat ada pria mata sipit dan berbadan agak kurus, pendek mendekat kepadaku. Dia menggunakan bahasa jepang. “Apakah anda Suroto?. Katanya memperlihatkan photoku. Aku mengangguk. Dia kemudian memperlihatkan photo dan nama gadis yang tak asing bagiku. “ Ayano. 


“ Dimana dia” kataku dalam bahasa jepang. 


“ Ada di hotel “ Kata pria itu. “ Mari saya antar ke hotel “Lanjutnya. Seperti kerbau ditusuk hidung, aku manggut saja. Apalagi ada di dalam kendaraan mewah untuk ukuranku almuni Pulau Buru. “ Tidak semua orang bisa masu Waseda university. Anda cerdas dan punya bakat sebagai Ekonom, terutama ekonomi ke rakyatan. Ya kan. “ Kata pria itu.


Aku hanya tersenyum. Aku tidak tahu apakah aku pantas disebut ahli ekonomi lulusan universitas terkenal di Jepang. Lebih 10 tahun aku merasa bukan manusia dan tidak berada di bumi manusia. Aku sampah dan debut jalanan. Akupun tidak punya rasa percaya diri untuk bertemu dengan Ayano. Tetapi setidaknya langkah pertamaku setelah dari Pulau Buru adalah bertemu dengan gadis yang pernah jadi kekasihaku dan kutinggalkan tanpa rasa bersalah.


“ Suroto San..” Ayano membungkukan setengah badannya sebagai tanda hormat kepadaku. “ Ayono memperkenalkan   kedua orang tuanya. “ Kami dapat kabar tanggal kebebasan kamu. Sebagai sahabat Ayuno, kami menawarkan jalan untuk masa depanmu. Mari kita ke Tokyo, Kamu bisa ambil Doktor di Waseda dan bekerja di Jepang. Bukankah kamu punya cita cita mengangkat ekonomi petani.” Kata Ayah Ayumo. Aku tahu bahwa keluarga Ayumo adalah keluarga Partai Komunis Jepang (PKJ). PKJ adalah salah satu partai komunis non-berkuasa terbesar di dunia, dengan sekitar 300.000 anggota yang tergabung dalam 20.000 cabang.


“ Kalau takdir memungkinkan, kamulah orang pertama yang akan kutemui.” Kataku kepada Ayuno. Itulah caraku menolak halus. Sebenarnya aku ingin bertemu dengan istriku terlebih dahulu dan mentunaikan tanggung jawabku yang tertunda selama 10 tahun.  Bayanganku tetap kepada janjiku untuk melunasi mahar nikahku kepada Sunarti. 

“ Aku bisa mengerti sikap, anda Soroto San. Pergilah temui istrimu. Yang pasti aku selalu menanti kamu. “ Kata Ayuno nampak berwajah kecewa.


Sore hari aku pergi jalan kaki ke arah bilangan Menteng Dalam rumah Sunarti. Aku tidak akan menumpang makan. Tidak pula menumpang tinggal. Aku hanya akan beritahu Sunarti bahwa aku sudah jadi manusia bebas. Tentu bebas juga melaksanakan tanggung jawabku dengan kedua tanganku sendiri.  Ternyata apa yang kudapati. ? Di rumah aku temui Sunarti sudah jadi istri orang lain.  Pria suaminya sama dengan Aku, sama sama memberikan mahar pergi ke haji. Namun tidak sepertiku yang berhutang. Suami Sunarti membayar tunai. Aku baru sadar aku berada di negeri kapitalis. Semua harus tunai. Tidak seperti sosialis komunis yang membayar dengan janji dan harus diperjuangkan dengan kerja keras mentunaikannya. 


Aku tidak protes.  Begitulah hukum nikah. Sesuai akad nikah lewat 3 bulan berturut turut suami tidak memberikan nafkah lahir batin, talak cerai berlaku otomatis. Sunarti sudah membebaskanku dari hutang dengan menikah lagi. Sama seperti aku dibebaskan dari Pulau Buru. Namun keduanya bukan karena kesalahan yang aku buat. Aku hanya kurang beruntung karena berada pada tempat dan waktu yang salah.


Aku sudah benar benar jadi orang bebas. Setahun setelah itu, aku kirim surat kepada Ayuno bahwa aku siap untuk kembali ke Tokyo. Aku tidak berharap Ayuno akan membalas. Setidaknya aku sudah memenuhi janji kepada Ayuno. Tetapi balasan itu tidak pernah datang. Aku kembali merasa jadi orang merdeka. Masa lalu sudah ada dibelakang. Aku harus move on untuk masa depanku. Sampai ajalku aku tetap jadi sampah kota dan terabaikan oleh hiruk pikuk pembangunan orde baru. Aku tetap najis untuk dibantu atau ditemani. Aku jadi orang asing di negeriku sendiri…semoga kalian paham..